Wakil Presiden Boediono mengatakan, kalau selama bertahun-tahun manusia memahami dirinya secara sempit, tidak jarang manusia sering mengkotak-kotakkan dirinya berdasarkan ras, warna kulit, bahasa, agama, kepercayaan, bahkan berdasarkan kebiasaan maupun pikirannya.
"Sayangnya, perbedaan-perbedaan tersebut malah kerapkali menjadi awal konflik dan pertentangan antar umat manusia, sesama ciptaan Sang Khalik," ujar Boediono saat memberikan sambutan dalam Pembukaan Global Peace Leadership Conference, di Grand Melia, Jakarta, Sabtu (16/10/2010).
Dalam catatan sejarah peradaban manusia menurut Boediono, tertoreh banyak sekali ketololan dan kepicikan. Padahal manusia pasti mempunyai satu ciri dan karakteristik yang tidak mungkin kita ubah. Itu adalah karunia Tuhan yang dibawa sejak lahir.
"Apakah kulit kita coklat, kuning, putih, hitam itu bukanlah sebuah pilihan. Apakah kita lahir dari orangtua Muslim, Kristen, Hindu atau kepercayaan lain, bukan kehendak kita," terang Boediono.
Namun sampai saat ini manusia masih terjerat dalam pemahaman sempit. Di Banyak negara kata Boediono, masalah rasisme atau pertentangan antar agama masih menjadi persoalan mendasar, bahkab berbuah kekerasan.
"Kita mulai belajar memahami kemanusian secara hakiki untuk menyadari betapa indahnya perbedaan beragama dan keberagaman. Seharusnya bumi kita menjadi taman sari peradaban yangf indah dan serasi," ujarnya.
Boediono berharap saat ini tidak hanya berbicara mengenai hak-hak politik. Kesetaraan dan penghormatan terhadap individu, dan segala aspek kehidupan lebih mementingkan nilai-nilai universal berasaskan demokrasi dan hak asasi manusia yang meletakkan individu-individu pada sebuah kesetaraan lahir dan batin.
"Meskipun Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia. Namun melalui sila pertama, Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Jika kita meninggalkan prinsip-prinsip dasar maka keberadaan negara indonesia sebagai negara satu kesatuan dipastikan akan menuju kehancuran," paparnya.
Global Peace Leadership Conference juga dihadiri Ketua PBNU KH Agiel Siradj, Ketua penyelenggara Slamet Efendi Yusuf, Dr HYun Jin Moon Chairman GPFF, serta 100 peserta dari 17 negara dan 200 peserta dari dalam negeri.
Wapres berharap gejala radikalisme maupun pemikiran mengenai konflik peradaban harus dicegah sebab sangat berbahaya jika dibiarkan berkembang. "Radikalisme adalah ancaman riil yang bisa mencerai-beraikan sendi-sendi kehidupan masyarakat," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar