Jumat (10/9/2010), hari Lebaran pertama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato di halaman tengah Kompleks Istana Jakarta. Presiden meluangkan waktu khusus untuk memberikan sikap atas rencana pembakaran Al Quran yang dilakukan Terry Jones, seorang pendeta di Amerika Serikat.
Didampingi tokoh agama dan tokoh politik Indonesia, Presiden menegaskan, pembakaran kitab suci agama apa pun, perusakan rumah ibadah, dan kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Pidato Presiden Yudhoyono disampaikan tidak hanya untuk publik Indonesia, tetapi juga untuk dunia karena Presiden juga berpidato dalam bahasa Inggris.
Untuk "mengurusi" Terry Jones di negeri seberang sana, Presiden bahkan menyempatkan diri menelepon Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa Ban Ki Moon. Sementara itu, kepada Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Presiden Yudhoyono berkirim surat khusus.
Beberapa saat setelah pidato itu disiarkan, aneka tanggapan datang beragam. Pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia, Burhanudin Muhtadi, melalui situs mikrobloging Twitter mempertanyakan sikap Presiden terhadap kemelut kebebasan beragama di Indonesia. "
Responmu cepat sikapi pendeta Jones. Highly appreciated for that. Tapi, mengapa kau tak pakai standar yang sama untuk meredam anarkisme terhadap Ahmadiyah dan HKBP," tulis Burhanuddin.
Stateless, berasa enggak punya Presiden. Jadi kangen Presiden Taxi.
-- Glen Fredly
Di situs jejaring sosial Facebook, para facebooker juga ramai menulis di status mereka soal sikap Presiden terhadap peristiwa yang terjadi di negeri sendiri. Seorang facebooker, Widyaputranto, misalnya, menulis pada status-nya, "SBY berani enggak bikin jumpa pers mengecam pembakaran gereja di Indonesia, kekerasan terhadap Ahmadiyah, kebebasan beragama, kebebasan membangun rumah ibadat di Indonesia? Jangan cuma numpang isu untuk kepentingan pencitraan aja...giliran urusan pencitraan cepet banget reaksinya...langsung pidato...."
Dua hari setelah pidato itu, seorang anggota jemaat Huria Kristen Batak Protestan Pondok Timur Indah, Ciketing, Bekasi, ditusuk sekelompok orang saat berjalan menuju tempat ibadah. Aksi kriminal ini adalah puncak ketegangan antara jemaat HKBP dan warga sekitar yang menolak pendirian tempat ibadah HKBP di kampung itu. Konflik di Ciketing adalah bagian kecil dari konflik panjang menyangkut hubungan antaragama di Indonesia. Dan, tidak ada pidato dari pemimpin negara atas persoalan ini.
Pascainsiden
Pascainsiden, memang tidak ada lagi jumpa pers di halaman tengah Istana. Suara Istana hanya diserukan oleh Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, yang ditelepon oleh wartawan. Mengatasnamakan Presiden, Julian menyampaikan agar masyarakat tidak terpengaruh dan terprovokasi dengan tindakan kekerasan yang terjadi terhadap jemaat HKBP.
Sekretaris Departemen Pemajuan dan Perlindungan HAM DPP Partai Demokrat, Rachland Nashidik, menyatakan, Minggu (12/9/2010), aksi kriminal ini harus mendapat perhatian serius karena pemerintah dihadapkan pada kebutuhan krusial untuk melindungi kebebasan beragama dari kaum reaksioner yang memusuhinya.
Menurut Rachland, tiba saatnya pemerintah melihat bahwa pihak-pihak yang dengan pelbagai cara, politik atau kriminal, menyangkal hak minoritas non-Muslim atas kebebasan beragama di Indonesia adalah nyata, terorganisasi, dan makin menguat.
"Mereka ada bukan saja di kamp yang tersembunyi, memanfaatkan kebebasan demokratik dalam demonstrasi di jalanan, melainkan juga tampil terbuka di dalam kabinet. Manifestasi pendirian mereka, baik dalam bentuk kebijakan politik maupun kekerasan kriminal, sama-sama menimbulkan kecemasan dalam perasaan umum. Di dalam dirinya, itu semua adalah ancaman terhadap integritas kebangsaan serta fundamen negara republik," terang Rachland.
Koordinator Kontras Haris Azhar pun mempertanyakan sikap "diam" Presiden Yudhoyono. "Kenapa Presiden memberi perhatian terhadap persoalan di negeri seberang, tapi membiarkan persoalan yang terjadi di negeri sendiri yang dialami oleh anak bangsanya," ucap Haris.
Penyayi Glen Fredly dalam kicauan di Twitternya berujar miris, "Stateless, berasa enggak punya Presiden. Jadi kangen Presiden Taxi."