JAMBI EKSPRES:
                           
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan berada di Belanda pada 6-9  Oktober 2010 untuk kunjungan kenegaraan atas undangan Ratu Belanda,  Beatrix.
Kunjungan Presiden ke negeri kincir angin itu tertunda  empat tahun karena menurut Juru Bicara Kepresidenan Bidang Hubungan Luar  Negeri, Teuku Faizasyah, Ratu Beatrix sebenarnya telah melayangkan  undangan pada 2006.
Kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda yang  pertama kali sejak dua masa pemerintahan itu, menurut Faiza, bermakna  penting untuk menghilangkan beban sejarah, sekaligus menandai kedewasaan  hubungan kedua negara.
Faiza mengakui hubungan bilateral  Indonesia dengan bekas penjajahnya itu sampai saat ini terganjal secara  psikologis karena realitas sejarah yang dipandang berbeda oleh kedua  pihak.
Namun, Indonesia-Belanda telah lama berupaya mempererat  hubungan dengan menyamakan cara pandang. Ditandai dengan kehadiran  Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot pada perayaan Hari Ulang Tahun  Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2005.
Bernard Bot juga telah menyampaikan pengakuan secara de facto atas kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Pengakuan  tersebut akan diperkuat oleh dokumen tertulis yang bakal ditandatangi  Indonesia dan Belanda tentang pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 17  Agustus 1945. Ini akan menyudahi berpuluh tahun pengingkaran Belanda  yang hanya mengakui penyerahan kedaulatan kepada Indonesia di Istana  Dam, Amsterdam, pada 27 Desember 1949 setelah pelaksanaan Konferensi  Meja Bundar.
Pengakuan tertulis yang akan ditandangani Presiden  Yudhoyono dan Pemerintah Belanda awal Oktober 2010 itu, kata Faiza,  telah lama dirundingkan kedua negara sejak 2009.
Pengakuan yang  diharapkan menghilangkan beban sejarah itu pun akan ditindaklanjuti  dengan penandatanganan perjanjiaan kemitraan komprehensif antara  Indonesia dan Belanda agar kedua negara semakin mempererat dan  memperluas kerjasama di masa depan.
"Yang signifikan adalah  penandatanganan perjanjian komprehensif. Karena kedua negara ini bisa  melihat ke depan, tidak lagi terseret-seret oleh beban sejarah dan  menunjukkan kedewasaan hubungan kedua negara," jelas Faiza.
Perjanjian  kemitraan komprehensif itu pun telah melalui masa persiapan cukup lama  sejak disepakati pada 13 Juni 2006 oleh menteri luar negeri kedua negara  saat itu, Hassan Wirajuda dari Indonesia dan Bernard Bot dari Belanda.
Saat  itu kedua menteri saling mengunjungi dan bertatap muka secara intensif  guna menyusun hubungan kedua negara yang berbagi sejarah cukup panjang  di belakang, namun ingin melongok jauh ke depan.
Perjanjian  kemitraan intensif bertujuan mengembangkan dan memperdalam berbagai  aspek hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda yang meliputi  segala bidang, mulai politik dan keamanan, ekonomi, hingga sosial  budaya.
Bernard Bot saat itu menilai perjanjian yang tercapai  sebagai perubahan dalam hubungan antara kedua negara untuk tidak lagi  melihat ke belakang pada apa yang sudah terjadi, melainkan memandang ke  depan guna mencari tahu apa yang bisa dilakukan guna memperbaiki  hubungan yang sudah terjalin baik antara Indonesia dan Belanda.
Bot  kala itu juga mengakui peran penting Indonesia dalam forum  internasional sebagai negara demokratis yang mayoritas penduduknya  beragama Islam.
Indonesia merupakan negara Islam terbesar dengan  lembaga-lembaga demokratisnya. Ini menandakan bahwa Islam adalah agama  perdamaian, katanya.
"Apabila negara-negara seperti Belanda dan  Indonesia bisa bekerjasama, kami bisa menunjukkan kepada negara-negara  lain di dunia bahwa di masa mendatang kami ingin membangun kerja sama  antar agama. Selain itu, kami juga ingin menunjukkan bahwa benturan  antar peradaban itu tidak perlu," katanya.
Malah sebaliknya, Belanda bisa bekerjasama untuk dunia yang damai, tutur Bot ketika mengunjungi Indonesia pada 2006.
Atas  peran Bot dalam meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-Belanda  selama menjabat Menlu Belanda pada 2003-2007, pemerintah Indonesia pun  menganugerahkan Bintang Mahaputra kepada Bot pada Oktober 2009.
Penghargaan  sejenis juga diberikan Indonesia kepada dua warga Belanda lainnya pada  kunjungan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda ke Den Haag pada Oktober  2009, yaitu anggota Komisi Luar Negeri Belanda Hans Van Balen, dan  Presiden Organisasi Kemasyarakatan Jacques Zeno Brinj.
Hubungan BaikDi  bidang ekonomi, Indonesia dan Belanda selama periode 2004-2008 berhasil  menaikkan volume perdagangan sebesar 17,38 persen meskipun sempat  menyusut akibat krisis keuangan global dari 4,142 miliar dolar AS pada  2008 menjadi 3,405 miliar pada 2009.
Pada 2008, Belanda merupakan  investor asing terbesar keempat di Indonesia setelah Inggris,  Jerman,dan Perancis dengan nilai 89,9 juta dolar AS yang meliputi 34  proyek.
Dalam pertemuan Komisi Bersama Kerjasama Ekonomi  Bilateral Indonesia-Belanda yang digelar pada Maret 2010, kedua pihak  sepakat mengatasi hambatan kerjasama perdagangan dan investasi,  khususnya peraturan yang diterapkan terhadap komoditi Indonesia ke  Belanda dan Uni Eropa serta mengatasi hambatan investasi Belanda di  Indonesia.
Dibukanya kembali rute penerbangan Garuda Indonesia  Jakarta-Amsterdam sejak 2010 diharapkan memperlancar hubungan ekonomi  kedua negara, sekaligus meningkatkan potensi pariwisata.
Kerjasama tersebut melengkapi kemitraan Indonesia dan Belanda yang sangat intensif di bidang pendidikan.
Belanda  memusatkan kerjasama dengan Indonesia, salah satunya adalah di bidang  pendidikan dengan menyediakan dana sebesar 30,8 juta Euro untuk beasiswa  pendidikan tinggi pada periode 2006-2011. dengan cara itu, negeri  kincir angin tersebut menjadi salah satu tujuan utama mahasiswa  Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Bantuan  itu masih ditambah dengan dana yang disalurkan Belanda melalui Bank  Dunia guna memperbaiki pendidikan dasar dan meningkatkan kualitas  kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang pada 2006 saja nilainya  masing-masing 24 juta Euro dan 22 juta Euro.
Kebijakan Anti IslamBelanda  saat ini mengalami perubahan konstalasi politik pasca Pemilu terakhir  karena partai berkuasa, yaitu Kristen Demokrat (CDA) hanya meraih posisi  keempat sebanyak 13,6 persen.
Posisi pertama diraih Partai  Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) sebanyak 22,5 persen, disusul  Partai Buruh (PvDA) sebanyak 19,6 persen, dan Partai Kebebasan (PVV)  15,5 persen.
Kesepakatan untuk menyusun kabinet minoritas Belanda  telah tercapai yang terdiri atas anggota VVD dan CDA yang mendapatkan  dukungan eksternal dari PVV pimpinan tokoh kontoversial Geert Wilders  yang selama ini dikenal berhaluan antiIslam dan antiimigran.
Dengan  demikian, kabinet minoritas VVD-CDA harus bertopang pada dukungan PVV  untuk mencapai mayoritas di parlemen sehingga Wilders yang pernah menuai  protes luas akibat memproduksi film "Fitna" yang bernada antiIslam  diperkirakan akan mempengaruhi kebijakan pemerintahan Belanda.
Keterlibatan  Wilders dalam kabinet Belanda tidak hanya dikhawatirkan oleh kelompok  Muslim di Belanda, namun juga oleh Partai Buruh yang menilai kekuasaan  PVV terlalu besar dengan tanggung jawab yang tidak sepadan.
Sepekan  sebelum kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda, Duta Besar Indonesia  untuk Belanda, Junus E Habibie, dalam wawancara yang dimuat surat kabar  terkemuka Belanda, "Financieele Dagblad," menyatakan kekhawatirannya  atas keterlibatan Wilders dalam kabinet Belanda.
Apabila Kabinet  baru Belanda itu mengikuti garis politik yang keras terhadap Islam, kata  Habibie, maka hal tersebut bisa mempersulit hubungan dengan Indonesia.
Pernyataan Habibie itu menyulut kemarahan Wilders yang mengatakan seorang duta besar tidak pantas mengutarakan hal tersebut.
Wilders  pun mendesak Menteri Luar Negeri demisioner Maxime Verhagen guna  mempertanyakan kepada Habibie apakah pernyataan tersebut bersifat  pribadi atau mewakili Pemerintah Indonesia.
"Jika benar itu atas  nama pemerintah Indonesia, harus ada konsekuensi diplomatik yang diambil  supaya orang Indonesia tidak terlalu nyaring bernyanyi," kata Wilders  dalam Financieele Dagblad.
Verhagen pun menemui Habibie yang  menghasilkan persetujuan bahwa Habibie menarik kembali pernyataannya dan  agar kedua pihak tidak membesar-besarkan masalah tersebut.
Faiza  pun mengatakan polemik antara Habibie dan Wilders telah berakhir dan  sama sekali tidak mempengaruhi rencana kunjungan kenegaraan Presiden  Yudhoyono pada 6-9 Oktober 2010 karena pemerintah Belanda amat  menantikan kedatangan Yudhoyono dan telah mempersiapkan segala  sesuatunya untuk menyambutnya.
Upaya menghilangkan beban sejarah  di antara Indonesia-Belanda ternyata tidak mudah di tengah konstalasi  global yang terus berubah. Kedewasaan kedua negara yang telah berbagi  pengalaman sejarah amat panjang itu terus menerus akan diuji.