Laman

Sabtu, 16 Oktober 2010

MENIKAH BEDA AGAMA NIH CARA NYA

JAMBI EKSPRES:

Akad dengan Bisik-bisik, tanpa Saksi dan Wali

Pada hari istimewa, 10-10-2010, Yusuf Waluyo Jati dan Lusia Lilik Hastutiani melangsungkan pernikahan. Hanya, upacara pernikahan mereka dilangsungkan di lembaga penghayat kepercayaan yang tidak melibatkan agama.
MINGGU (10/10) lalu, menjelang magrib Toyota Avanza hitam melesat dari Bantul menuju sebuah tempat di Utara Jogjakarta. Ada tujuh penumpang di dalamnya, dua di antaranya pasangan yang sedang berdebar menanti upacara pernikahan.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 90 menit, rombongan tiba di lokasi yang akan meluluskan keinginan mereka untuk hidup berumah tangga. Namun, bukan di KUA (Kantor Urusan Agama), bukan pula di masjid atau gereja. Mereka mendatangi kantor DPD Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) terhadap Tuhan Yang Mahaesa (Demi alasan tertentu, tempat pasti kantor itu dirahasiakan, red).

Di teras kantor HPK rombongan disambut Sudijono (74). Dialah penghulu penghayat sekaligus ketua umum HPK daerahnya. Dia juga pemilik rumah yang sekaligus dijadikan kantor lembaga tersebut. “Saya ini penghulu penghayat, seperti penghulu lain. Tapi, tidak digaji negara,” ujarnya memperkenalkan diri, lantas tertawa.

Sudijono mengaku, lembaga yang dipimpinnya sudah mendapatkan akreditasi dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (dulu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) pada 1980. “Baru kali ini kami menikahkan pasangan di luar anggota penghayat kepercayaan. Mungkin orang belum tahu atau takut nanti status pernikahannya sah atau tidak,” ujar pensiunan pegawai negeri sipil itu.

Meski upacara “pernikahan”-nya dilangsungkan sederhana, Yusuf Waluyo Jati maupun Lusia Lilik Hastutiani tetap mengenakan pakaian terbaik sebagaimana yang dilakukan calon pengantin pada umumnya.

Mempelai pria mengenakan setelan jas hitam lengkap, sedangkan mempelai perempuan mengenakan kebaya modern dengan rambut disanggul. Sejak pagi keduanya sibuk mempersiapkan diri. Mereka ke salon untuk memoles tubuh.

Mereka benar-benar ingin melewati momen bersejarah itu dengan totalitas sesuai dengan kesanggupan masing-masing. Pukul 19.30 belum ada tanda-tanda upacara dimulai. Sang penghulu masih bercerita ngalor-ngidul. Kedua mempelai maupun anggota rombongan dari Jogja jadi tidak sabar untuk segera melalui detik-detik mendebarkan itu. Ketika Sudijono diingatkan, ternyata dia memang sengaja mengulur-ulur waktu.

Sudijono lantas membuka Kitab Primbon Betaljemur Adammakna yang di dalamnya ada keterangan bahwa malam Senin sekitar pukul 19.30 itu bertanda cidro atau cedera. “Jadi, tidak baik untuk melangsungkan pernikahan. Ini menurut leluhur kita yang harus kita hormati. Sekarang kan sudah banyak yang melupakan ajaran leluhur dan melawan orang tua,” katanya.

Jam yang baik malam itu, kata Sudijono, dimulai pukul 21.00. Sebab, menurut kitab primbon maknanya trisno atau cinta. Maka, upacara pun ditunda hingga satu setengah jam kemudian. Sudijono meminta kedua mempelai beserta ibu dan dua kakak perempuan Lusia untuk bersabar. Untuk “membunuh” waktu, Sudijono lalu memutar video pernikahan putrinya secara penghayat kepercayaan. Tuan rumah menyuguhi teh hangat dan sekaleng biskuit untuk camilan tamu. Begitu jam yang dinanti tiba, kedua mempelai diminta duduk berdampingan di ruang tamu. Sudijono kemudian masuk kamar untuk melakukan ritual.

Tidak sampai lima menit, Sudijono selesai melaksanakan ritual. Dia kembali ke ruang tamu untuk menemui kedua mempelai dan rombongan. Upacara pun dimulai. Dia meminta kedua mempelai menjabat tangannya bersamaan.

Saat itulah, dengan suara berbisik dan bahasa Jawa kromo inggil yang diucapkan dengan cepat, Sudijono “menikahkan” pasangan tersebut. Tak ada satu kata pun yang menyinggung salah satu agama. Di atas meja juga tidak ada apa-apa kecuali sekaleng biskuit yang disuguhkan Sudijono. Begitu sang penghulu selesai melafalkan “akad” pernikahan itu, selesailah upacara perkawinan tersebut. “Sekarang kalian sudah menjadi suami istri yang sah secara siri. Tinggal menunggu akta nikah dari kantor catatan sipil yang keluar kurang lebih 30 hari lagi. Bila akta itu keluar, pernikahan kalian sah secara negara,” ucap Sudijono setelah menyatakan pernikahan yang dipimpinnya itu sah.

Sudijono selanjutnya akan menguruskan akta pernikahan itu ke petugas catatan sipil. Dirinya merasa berhak mengurus akta itu karena membawa nama lembaga kepercayaan yang sah dan diakui negara berdasar UUD 1945.

Ketika diminta menjelaskan “akad” yang diucapkan saat menikahkan Yusuf dan Lilik –panggilan Lusia Lilik Hastutiani–, Sudijono menolak. Yang pasti, tidak ada ucapan mas kawin seperti pernikahan menurut Islam.

Pernikahan itu juga tidak memerlukan saksi atau wali dari kedua mempelai. Cukup di hadapan sang penghulu. “Kalau mas kawin kan bisa diucapkan sendiri,” katanya. Padahal, Yusuf sudah menyiapkan mas kawin untuk Lilik berupa uang tunai senilai USD 1010 yang bermakna tanggal 10 bulan 10, sesuai dengan tanggal pernikahannya.

Sudijono mengatakan, dirinya hanya membantu mewujudkan pernikahan bagi dua insan berbeda keyakinan, tapi ingin membina rumah tangga, seperti yang terjadi pada Yusuf dan Lilik. “Kasihan mereka sudah bertekad membina rumah tangga, tetapi tidak bisa bersatu. Saya hanya membantu. Mungkin saya tidak ada artinya. Tetapi, saya yakin (langkah ini) ada artinya bagi kehidupan mereka ke depan,” terangnya.

HPK bisa menikahkan pasangan berbeda agama asalkan kedua mempelai merupakan warga negara Indonesia, memiliki KTP, dan meyakini adanya Tuhan. HPK tidak mempermasalahkan perbedaan keyakinan di antara keduanya.

Yusuf sebenarnya berasal dari keluarga muslim. Tapi, saat ini dia tidak meyakini agama apa pun. Dia menempatkan diri dalam kategori agnostik atau tidak peduli pada agama. Sedangkan Lilik menganut Katolik.

Perbedaan keyakinan itulah yang membawa Yusuf dan Lilik ke dalam ritual pernikahan berdasar kepercayaan. “Saya mau melakukan (ritual pernikahan di HPK) supaya diakui negara. Ini adalah upaya mediasi menuju kepastian hukum,” kata Yusuf.

Yang penting, kata alumnus Filsafat UGM itu, pernikahannya tidak memihak agama apa pun. Dengan demikian, Yusuf meyakini rasa sakit yang dirasakan Lilik tidak sedalam jika harus melangsungkan pernikahan dalam agama lain. Begitu pula sebaliknya, Yusuf tidak harus keluar dari keyakinannya untuk menjadikan Lilik sebagai istri.

Yusuf mengaku terpaksa menempuh cara itu karena negara tidak memberikan jaminan terhadap orang yang berbeda keyakinan dalam menikah. “Banyak orang akhirnya mengorbankan salah satu keyakinannya. Seharusnya UU Pernikahan direvisi karena UUD 1945 sudah menjamin sepenuhnya hak warga negara untuk menganut keyakinan atau agama apa pun,” terangnya.

Namun, UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya mengatur satu agama, satu keyakinan. Belum ada ruang untuk mengakomodasi perkawinan beda kepercayaan. “Seharusnya negara lebih akomodatif terhadap mereka yang menikah beda agama. Ruang itu begitu sempit sehingga berpotensi terjadinya pemaksaan kehendak,” harap pria yang berprofesi sebagai jurnalis di salah satu media cetak ternama itu.

Sebelum menemukan solusi untuk melangsungkan pernikahan di HPK, Yusuf dan Lilik nyaris putus asa. Setelah menjalin hubungan lima tahun, keduanya sepakat menuju ke jenjang perkawinan. Namun, perbedaan keyakinan menjadi kendala sehingga mereka sempat berpikir untuk menikah di Singapura. Yusuf merasa upaya itu sulit ditempuh karena selain membutuhkan biaya tinggi, juga sulit mendapatkan pengakuan dari pemerintah Indonesia.

Pada awal 2010, konsep pernikahan mereka dimatangkan dengan menggandeng Deni Ismail, konsultan hukum yang masih sepupu Yusuf. “Pikiran pertama saya, menikahkan mereka di pengadilan negeri dengan mengajukan permohonan pencatatan perkawinan. Tapi, prosesnya panjang dan belum tentu dikabulkan,” kata Deni.

Deni lantas teringat bahwa UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2 menerangkan bahwa negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Mahaesa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. “Bisa saya tafsirkan bahwa perkawinan bisa melalui aliran kepercayaan. Kenapa harus pindah agama,” ujarnya.

Setelah melakukan pencarian, Deni akhirnya menemukan lembaga penghayat kepercayaan yang dipimpin Sudijono itu. “Kedua institusi agama (Islam dan Katolik) tidak membolehkan pernikahan di luar agama. Di sini (HPK) pernikahan tetap terwujud dengan agama apa pun berlandaskan kepercayaan kepada Tuhan Yang Mahaesa,” ujarnya.

Deni meyakinkan, pernikahan melalui HPK jelas tidak ada penyelundupan hukum, tidak ada unsur tipu-tipu, dan sejenisnya. Dari aspek hukum, pernikahan melalui jalan itu adalah sah.

Menurut Deni, pernikahan dengan aliran kepercayaan justru lebih bijak bila dibandingkan dengan harus memaksa salah satu pihak masuk kepada kepercayaan lain hanya untuk melangsungkan prosesi sesaat. “Ini tidak menzalimi agama apa pun. Tidak membohongi negara hanya untuk kepentingan sesaat. Banyak terjadi yang keluar (agama tertentu) untuk menikah, lalu kembali lagi setelah itu. Saya salut kepada Yusuf dengan konsistensinya tidak menistakan kepercayaannya dan sepakat membina rumah tangga yang harmonis,” tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar