Laman

Minggu, 10 Oktober 2010

TATA RUANG SALAH NAMUN IJIN TETAP KELUAR

JAMBI EKSPRES:

Dalam banyak perdebatan mengenai kebijakan pembangunan daerah, acapkali mempersoalkan ketidaktersediaan informasi mengenai Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK). Centang pemenang pembangunan kota selama ini yang diidentifikasi dengan menjamurnya banyak pembangunan rumah toko (Ruko), baik untuk perdagangan, pergudangan maupun bisnis walet, seperti pembangunan mal, pembangunan pabrik, dan sejumlah sarana perdagangan serta perumahan baru lainnya yang siap mengepung lokasi-lokasi strategis di kota ini, yang kesemuanya bergerak cepat untuk mengisi ruang-ruang kosong, dan belum jelas peruntukkannya.

Dalam konteks bisnis, barangkali apa yang dilakukan oleh para pelaku usaha tersebut, merupakan langkah terobosan dan jelas berinsting bisnis tinggi. Hanya saja, pemerintah daerah kurang cepat, bahkan cenderung mengabaikan, dan tidak berpikir panjang untuk masa depan kota ini, lima atau sepuluh tahun ke depan. Inilah yang mendasari kegelisahan banyak orang, terutama yang memiliki concern terhadap keberlanjutan pembangunan kota.

RUTRK yang beberapa waktu lalu dibahas dan sebentar lagi disahkan, sedikit banyaknya ada dua kelompok yang memberikan apresiasi. Yang optimis beranggapan dan berharap, inilah jawaban dari sekian banyak problem kebijakan perkotaan selama ini yang terbengkalai, dan tidak pernah begitu menjadi perhatian para policy makers (pembuat kebijaksanaan). Tapi, bagi sekelompok yang lain, yang berharap-harap cemas, apa betul RUTRK ini akan menjawab banyak persoalan kebijakan perkotaan, atau justru sebaliknya, akan menambah ancaman dan beban baru bagi keberlanjutan pembangunan perkotaan, kini dan di masa yang akan datang?

Padahal sejatinya, RUTRK digagas dan dibuat dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap peruntukkan lahan sebagai jaminan aktivitas dan pertumbuhan investasi. Karenanya, konsekuensi dan ketaatan terhadap kebijakan sebuah rencana menjadi hal penting dan tidak dapat ditawar-tawar dalam proses perencanaan itu sendiri. Bagaimanapun juga, rencana peruntukkan dan pemanfaatan lahan dalam kebijakan tata ruang tidak dapat berubah-ubah setiap tahun dan/atau setiap dikeluarkannya selalu diberi peluang untuk dievaluasi dan direvisi, karena merusak kualitas lingkungan, menghambat investasi dan berpotensi menimbulkan konflik.

Dalam judul berita di halaman Metro Jambi pada harian ini berbunyi, “Wali Kota: Kalau Salah Kok Masih Dikeluarkan (5/5).” Kegerahan Wali Kota Bambang Priyanto terhadap Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Izin Penggunakan Bangunan (IPB) terhadap salah satu pabrik yang berlokasi di Jalan Lingkar Barat, Kelurahan Kenali Asam Bawah, Kecamatan Kotabaru menuai kritik tajam dari parlemen. Kalangan DPRD Kota Jambi menaruh curiga dan mempersoalkan mengapa perusahaan tersebut dapat beroperasi di lahan yang bukan pada peruntukannya dan melanggar peraturan daerah (Perda).

Menguji Nyali Wali Kota

Sebagaimana diamanatkan dalam Perda No. 5 tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) Kota Jambi, pasal 11 huruf d, bangunan pabrik milik taipan terkaya di Indonesia tersebut berada di BWK C2 (barat) tepatnya pada ULP C2-4 yang merupakan kawasan peruntukkan pemukiman, perdagangan, dan cadangan pengembangan kota. Sedangkan kawasan industri, sesuai pasal 12 huruf C adalah di BWK D1 (timur) dan D2 (timur). Atas pelanggaran tersebut, maka menurut UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 37 ayat 3, Izin Pemanfaatan Ruang yang dikeluarkan dan atau yang diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.

Dalam pasal yang lain disebutkan, bahwa setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan dan mengakibatkan perubahan fungsi dan ruang, maka dapat dipidana penjara paling lama 3 tahun dan didenda paling banyak sebesar Rp 500 juta. Dalam pasal lain, pasal 73 ayat 1 disebutkan, setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang, maka dapat dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya.

Dalam konteks tersebut, maka beranikah Wali Kota selaku pimpinan untuk mengatakan, kalau sudah salah mengapa dikeluarkan?, soalnya, kasus pabrik tersebut merupakan puncak gunung es yang bermuara pada keseriusan pimpinan kota untuk menata dan menertibkan bangunan-bangunan yang sudah berdiri dan memiliki izin untuk ditindak tegas dan di-stop operasinya. Bila tidak, maka jangan heran, pembangunan dan tata ruang kota ini akan semakin kompleks, bak lingkaran setan, siapa cepat ia dapat. Bila begini, siapa yang diuntungkan?.(*)

*Penulis adalah pengamat Kebijakan Publik/Ketua Asosiasi Manajemen Indonesia Jambi

1 komentar: