JAMBI EKSPRES:
Krisis Pangan
Jangan Sampai Ibu Menjual Anaknya Untuk Makan
Jakarta - Ibu-ibu kini banyak yang mengeluhkan mahalnya kebutuhan pokok. Dengan uang Rp 30 ribu nyaris tidak dapat membeli apa-apa. Ibu yang bertugas mengatur kebutuhan keluarga kebingungan untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarganya. Mereka tidak berdaya menghadapi hajaran kenaikan harga.
Ny. Nia, di Depok, Jawa Barat, misalnya, merasa uang yang belanjanya kini tidak mencukupi untuk membeli kebutuhan sehari-hari. "Pernah saya mau beli sawi, masa sama penjualnya dijual per batang Rp 1.500. Terus saya mau masak apa? Semuanya mahal. Dengan uang Rp 40 ribu belanjaan kita nggak mbejaji (tidak mencukupi). Bingung saya," kata ibu tiga anak itu.
Ny Wati, yang tinggal di Cipete, memilih membeli beras dengan harga yang paling murah dan berusaha mencukup-cukupkan kebutuhannya. Suami Wati, Hadi, adalah pensiunan PNS yang kini bekerja serabutan. Untuk biaya hidup bagi suami, Wati dan satu anaknya, keluarga ini mengandalkan pendapatan dari uang pensiunan. Wati merasa beruntung karena dua anaknya yang lain sudah mandiri secara ekonomi.
"Ya itu untuk kebutuhan makan mah kita cukup-cukupkan. Apalagi harga beras sekarang kan naik terus. Ini saja saya baru beli beras yang seliternya Rp 5.500. Ini kalau di sini udah paling murah," jelas Wati, nenek 67 tahun.
Sutarjo seorang pedagang makanan di kawasan Jl Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat juga mengeluhkan harga pangan, seperti beras yang masih tinggi. Apalagi, ia memiliki usaha berjualan makanan, sehingga untuk menaikan harga jualnya kembali agak dilematis, menaikan harga masakannya atau pelanggan lari.
"Susah banget mas kalau kita naikin, pelanggan akan lari semua. Ya paling kita ngasih tahu pembeli, ini agak naik sekitar Rp 500 sampai Rp 1.000 misalnya. Tapi pembeli juga tahu kalau beras, misalnya juga naik," ungkapnya seraya mengatakan selalu membeli beras kualitas sedang dengan harga antara Rp 5.000 sampai Rp 6.000. Kadang Sutarjo juga meminta istrinya untuk mencari informasi di mana ada operasi pasar yang dilakukan Bulog.
"Ya kalau ada operasi pasar dari pemerintah agak enakan, kita bisa beli lebih murah dan banyak," ujar Sutarjo penjual Pecel Ayam, Lele serta Gado-gado ini.
Ketika ditanya akan ada krisis pangan di Indonesia. Sutarjo hanya tersenyum, "Saya nggak tahu itu mas, yang penting selama di warung-warung sama toko ada beras, itu artinya masih aman. Ya itu mah tanggung jawab pemerintah lah," jelasnya lagi.
Badan Pangan Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2010 telah telah memperingatkan tentang akan terjadinya krisis pangan dunia yang akan dimulai tahun 2011. Menteri Pertanian Suswono menjamin krisis pangan tidak akan sampai terjadi melanda Indonesia. Katanya, ketersediaan pangan di negeri kita masih cukup. Namun faktanya, memasuki awal tahun 2011, harga kebutuhan pangan langsung melambung.
Dengan harga yang melambung, masyarakat pun kesulitan untuk menjangkaunya. Meskipun pangan tersedia, masyarakat tidak mampu untuk membelinya. Data Badan Ketahanan Pangan Nasional mencatat 27,5 persen penduduk Indonesia terkena rawan pangan. Kondisi rawan pangan secara otomatis akan diikuti dengan masalah kesehatan. Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) Dr Tb Rachmat Sentika mengakui banyak sekali ditemukan kasus kurang gizi.
Rachmat pun menyampaikan data hasil Riset Kesehatan Dasar 2011 yang mengungkapkan terjadinya kasus gizi kurang sekitar 18,5 persen dan gizi buruk sekitar 5,4 persen dari jumlah balita sekitar 26 juta. Artinya ada sekitar 1,3 juta balita yang mengalami gizi buruk dan 3,6 juta balita mengalami gizi kurang, sehingga 5 juta balita mengalami rawan gizi. "Kalau tidak ada perbaikan dikhawatirkan akan menyebabkan gangguan perkembangan otak yang menetap, sehingga sulit belajar dan ini bisa menyebabkan lost generasi," ungkapnya.
Dari hasil penelitian itu juga, lanjut Rachmat, ada dua faktor yang menyebabkan persoalan gizi, yaitu kesehatan dan non kesehatan. Riset Kesehatan Dasar 2011 mencatat sekitar 11,5 persen kelahiran balita yang memiliki berat badan saat lahir rendah memiliki potensi gizi buruk dan kurang. Ditambah bila ada penyakit lainnya yang akan menjadi persoalan gizi.
Persoalan lainnya, terkait masalah kemampuan keluarga dalam menyediakan makanan bergizi menjadi penyebab utama. Sebab, presentasi gizi buruk telah dijadikan ukuran kemiskinan di suatu daerah. "Saya tidak tahu apakah saat ini masyarakat kesulitan daya beli, sehingga kemampuan membeli makanan menjadi persoalan. Dari pantauan KPAI, kewenangan penanggulangan gizi saat ini sudah didesentralisasikan ke daerah, hanya saja baru sepertiganya saja daerah yang melakukan itu, itu sayangnya dan menjadi keprihatinan IDI juga," tandas Rachmat.
Oleh karena itu, sebelum terjadi krisis pangan yang sebenarnya, IDI menyarankan agar dilakukan identifikasi dan maping atau pemettaan di mana saja gizi buruk dan kurang itu terjadi. Selain itu agar ada peningkatan standar operasi pelayanan (SOP) Penanggulangan Gizi di sejumlah puskesmas atau rumah sakit.
Melihat kondisi ancaman krisis pangan ini, pemerintah dinilai panik dan langsung membebaskan bea impor pangan ke Indonesia. "Sayangnya perubahan iklim kurang direspon dengan kebijakan yang sistematis untuk mengantisipasi akan gagal panen. Maka yang terjadi adalah jalan pintas pembebasan biaya impor ini membuat usaha pertanian tidak diminati, karena tidak ada kebijakan yang jelas dan terarah," kata budayawan dari Setara Institut yang juga salah satu Ketua KWI, Romo Benny Susetyo kepada detikcom.
Romo Benny juga mengkritik manajemen pengelolaan pangan di Indonesia yang amburadul. Bahkan, kepekaan pemerintah atas kasus-kasus kekurangan gizi serta kasus busung lapar dan sebagainya yang terjadi di daerah relatif kurang diperhatikan. Oleh karena itu kasus busung lapar di NTT beberapa tahun silam serta kasus kelaparan di Yahokimo, Papua, justru menampar pemerintah pusat. "Bagaimana tidak, pemerintah selalu mengatakan kita berhasil panen dan mengalami surplus, tapi ada kasus kurang gizi, kesulitan makan," pungkasnya.
Kasus kelaparan di berbagai daerah semakin memperburuk daftar panjang kasus kemiskinan di negeri ini. Sayangnya, peringatan ini menurut Romo Benny tidak dibaca dengan baik. Kelaparan, gizi buruk, penyakit polio, busung lapar, dan seterusnya adalah pertanda agar bangsa ini bisa dan mau menyadari adanya polaritas yang amat tajam antara elite yang kaya raya dan rakyat jelata.
Indonesia mengalami bahaya kelaparan? Max Havelaar dalam bukunya 'Multatuli' tahun 1860, yang menceritakan kemiskinan dan kelaparan di Nusantara. "Di pulau Jawa yang subur dan kaya itu, bahaya kelaparan? Ya, saudara pembaca. Beberapa tahun yang lalu ada distrik-distrik yang seluruh penduduknya mati kelaparan, ibu-ibu menjual anak-anak untuk makan, ibu-ibu memakan anaknya sendiri," begitu kata Max Havelaar.
Jangan sampai fiksi Max Havelar menjadi kenyataan!
Menggantungkan Perut Pada Negara Lain
tiwul
Jakarta - Di tengah hiruk pikuk kasus Gayus Tambunan atau curhat gaji presiden, ada ancaman besar di depan mata yang kurang mendapat perhatian. Rakyat Indonesia terancam mengalami krisis pangan.
Badan Pangan Dunia (FAO) telah memperingatkan tahun 2011 ini akan terjadi krisis pangan dunia. Peringatan sudah disampaikan pada 2010 lalu. Sejak Desember 2010, harga pangan dunia telah melonjak bahkan telah mencapai rekor tertinggi indeks harga pangan FAO.
Pada akhir tahun lalu, indeks yang menghitung perubahan harga kumpulan bahan pangan seperti sereal, biji-bijian, minyak, susu, daging, dan gula rata-rata mencapai 214,7. Sedangkan rekor Juni 2008 hanya di level 213,5.
Meski sudah mendapatkan peringatan tahun lalu, Indonesia seperti biasanya tidak siap menghadapinya. Memasuki awal tahun 2011, warga kita langsung dihajar harga kebutuhan pangan yang terus melambung. Harga beras terus naik, harga cabai mencapai posisi yang tidak masuk akal, Rp 100 ribu per kilogram. Kebutuhan pokok lainya pun ikut terkerek naik. Di Jakarta, dengan uang Rp 30 ribu di tangan, seorang ibu rumah tangga kesulitan memenuhi gizi keluarganya.
Padahal jumlah orang miskin di Indonesia, seperti disampaikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa mencapai 31,02 juta penduduk atau 13,5 persen. Jumlah ini kata Hatta turun dari tahun lalu. Tapi tetap saja angka itu masih sangat besar. Terlebih lagi ada data lain, Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan ada 70 juta penduduk yang menerima beras miskin (raskin). Soal angka kemiskinan ini menjadi polemik soal kebohongan pemerintah SBY yang hingga kini belum usai.
Namun yang jelas kemiskinan selalu identik dengan rawan pangan. Maka dengan angka kemiskinan yang tinggi, angka rawan pangan pun tinggi. Data Badan Ketahanan Pangan Nasional, angka rawan pangan Indonesia tercatat 27,5 persen. Maka tidak aneh bila dengan mudah ditemukan data keluarga kurang gizi sampai kurang pangan.
Di Jepara, Jawa Tengah, lima bersaudara meninggal karena keracunan tiwul. Keluarga itu mengkonsumsi tiwul karena tidak mampu membeli beras lagi yang harganya semakin mahal.
Balita kurang gizi pun bisa ditemui di banyak tempat. Di Lebak, Banten, misalnya, dua anak kembar, Abdurahman dan Abdurrahim, kurus kering dengan perut buncit. Si kembar empat tahun itu pun bisu dan tuli. Di desa si kembar itu, masih banyak balita lainnya yang mengalami nasib yang sama. Bahkan di sejumlah daerah lainnya, Cirebon dan Kebumen misalnya, ada warga yang memilih bunuh diri karena miskin.
Bagaimana pemerintah menghadapi ancaman krisis pangan yang sudah memakan korban warganya ini? Menteri Pertanian Suswono menjamin krisis pangan dunia tidak akan sampai melanda Indonesia. Katanya persediaan pangan kita masih bisa terjamin. Tapi kalau stok masih terjamin, mengapa Bulog akan melakukan impor 1,5 juta ton beras?
Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso menegaskan negara kita masih sulit melepas ketergantungannya akan beras impor. Beras impor itu untuk menjaga stok cadangan beras nasional. Stok cadangan beras nasional ini sangat penting. Cadangan ini berfungsi untuk keperluan darurat seperti bencana alam, perang dan konflik sosial, serta untuk keperluan stabilisasi harga.
Tapi yang menyedihkan, dua negara yang menjadi sumber impor beras Indonesia yakni Thailand dan Vietnam akan menahan ekspornya. Kedua negara itu, di tengah ancaman krisis pangan dunia, tentu saja memilih mengamankan perut rakyatnya sendiri dibandingkan mengekspornya untuk negara lain.
Indonesia tentu dalam posisi bahaya. Indonesia tidak bisa lagi tergantung pada impor beras. Sementara surplus produksi di dalam negeri tidak mencukupi. Ibaratnya, kondisi Indonesia seperti menggantungkan perut pada negara lain. Bila negara lain sudah tidak bisa digantungi lagi, maka Indonesia akan kelabakan sendiri.
Kini rawan pangan sudah mencapai 27,5 persen penduduk kita. Bila tidak serius mengantisipasi rawan pangan ini, siap-siap saja terjadi krisis pangan nasional tidak lama lagi. Siap-siap saja, makin banyak balita kurang gizi, makin banyak orang meninggal karena mengkonsumsi makanan tidak layak dan makin banyak orang bunuh diri karena miskin. Siap-siap saja...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar