Laman

Senin, 24 Januari 2011

ANGGARAN PERTANIAN JADI BAHAN TERTAWAAN

JAMBI EKSPRES:

Anggaran Untuk Pertanian Jadi Tertawaan

Jakarta - Setiap berkunjung ke daerah, Kaman Nainggolan selalu miris. Saat menjadi Kepala Badan Ketahanan Pangan Nasional, ia sering bertanya pada pejabat daerah tentang anggaran untuk pertanian. Dan jawabannya akan membuatnya mengurut dada. Nyaris tidak ada perhatiannya pemda terhadap petani. Tidak aneh bila petani selalu miskin. Inilah penyebab kerawanan pangan mayoritas menimpa petani.

Kaman, yang kini menjadi pengamat ekonomi pertanian, menuturkan dukungan sektor pertanian untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tinggi, yakni mencapai sekitar 20 persen. Tapi anehnya, dana tersebut tidak dikembalikan kepada petani. APBD selalu memberikan anggaran yang sangat kecil, yakni di bawah 5 persen untuk pertanian.

"Kalau kita lihat APBD atau APBN kita tertawa sendiri. Perhatian pemerintah kecil sekali. Total porsi dana untuk pertanian itu di bawah 5 persen. Ini menjawab sendiri mengapa terjadi rawan pangan itu," kata Kaman.

Merujuk data Badan Ketahanan Pangan Nasional, Kaman menyatakan 27,5 persen penduduk Indonesia mengalami rawan pangan. Kriteria rawan pangan itu bukan berpatokan pada ada tidaknya beras. Tapi asupan kalori atau gizi yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Untuk Indonesia, standar kalorinya sebesar 2.000 kalori per orang per hari.

Dari jumlah 27,5 persen tersebut, sebanyak 11,07 persen pemenuhan kalori mereka di bawah 70 persen atau mengalami rawan pangan kronis Sementara sisanya masuk kategori rawan pangan ringan karena berada di bawah 90 persen dari standar pemenuhan kalori.

"Kondisi masyarakat bisa dibilang rawan pangan jika asupan kalorinya di bawah 70 persen, atau makan dua kali sehari atau di bawahnya. Kalau rawan pangan ringan 90 persen dari standar, atau mengkonsumsi di bawah 1.800 kalori," terang Nainggolan.

Mereka yang mengalami rawan pangan akibat kemiskinan. Penduduk mengalami rawan pangan akibat tidak memiliki akses terhadap pangan. Penyebabnya, mereka tidak punya uang di kantong untuk membeli beras.

Nah, dengan kondisi cuaca ekstrim yang saat ini melanda dunia, bukan tidak mungkin jumlah masyarakat Indonesia yang mengalami rawan pangan bakal bertambah. Sebab akses terhadap pangan,terutama beras sudah barang tentu semakin sulit bagi rakyat miskin.

Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatmo memprediksi, perang ke depan adalah memperebutkan komoditas pangan. Dan pertempuran-pertempuran ini sebenarnya sudah terjadi sejak 2008 lalu. Ke depan "pertempuran" ini akan semakin sengit karena
pertumbuhan jumlah penduduk dunia jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan produksi produk pertanian.

Akibatnya, negara produsen beras tidak hanya akan membatasi ekspor, tetapi juga menghentikan ekspor dengan alasan untuk mengamankan kebutuhan domestik. Di sisi lain banyak negara yang punya uang sanggup membeli produk pangan dengan harga
berapapun.

"Kondisi ini bisa meningkatkan harga pangan di pasar global. Dan tentu saja masyarakat miskin semakin semakin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka," jelas Sudaryatmo.

Untuk mengatasinya, YLKI berharap pemerintah menciptakan kebijakan yang kondusif di sektor pangan. Bukan dengan cara membebaskan bea masuk bagi pangan impor. Sebab cara seperti ini menunjukan pemerintah malas untuk berfikir.

Ketua Harian HKTI Sutrisno Iwantono MA juga mengkritik kebijakan pemerintah membebaskan bea masuk bahan pangan. Menurut Sutrisno, langkah itu hanya untuk kepentingan jangka pendek untuk mempertahan citra, mencegah keresahan sosial dan gangguan politik yang mungkin timbul akibat kenaikan harga bahan pangan. Sementara di sisi lain, langkah itu sekaligus telah membuktikan kegagalan kita dalam pembangunan pertanian.

"Kalau kita berhasil memproduksi pangan dalam negeri secara mandiri, tentu tidak akan ada kenaikan harga pangan, tidak perlu menghapuskan bea masuk impor," kata Sutrisno.

Belajar dari kondisi global krisis pangan yang bakal terjadi pada tahun 2011, dimana masing-masing Negara akan sangat agresif mengakumulasi persediaan pangan untuk bangsanya sendiri, menurut Sutrisno, kuncinya adalah swasembada pangan nasional. "Untuk itu segala daya upaya harus difokuskan bagi upaya swasembada pangan," kata Sutrisno.

Sementara Ketua Bidang Koperasi HKTI Endang Setyawati Thohari menyarankan, untuk mengatasi rawan pangan pemerintah harus lebih memperhatikan petani sehingga para petani tetap setia menggarap lahan pertanian. Sebab berkurangnya lahan pertanian
bisa berdampak serius bagi ketahanan pangan. Akibatnya kita malah bergantung kepada impor beras dari negara lain.

Cara yang harus dilakukan pemerintah antara lain,dengan mempermudah para petani untuk mengakses perbankan, mendorong produksi makanan olahan dari berasa atau bahan makan pokok, sehingga para petani tidak lagi menjual produk dasar pertanian. Misalnya, petani menjual dalam bentuk tepung beras sehingga harganya relatif lebih tinggi. Untuk itu perlu penyerapan tepung beras petani di pasar.

"Saat ini petani selalu mengeluh dengan harga gabah yang jauh di bawah harga beras. Sehingga mereka malas untuk menjual gabahnya. Parahnya lagi sejumlah petani sekarang banyak yang jual sawahnya karena dianggap tidak menguntungkan,"
ujar Endang.

Endang juga memprediksi, jika pemerintah tidak segera berbenah dalam mengurusi sektor pertanian, kerawanan pangan yang ditakutkan bakal jadi kenyataan. Sebab para petani yang sehari-hari menanam padi, justru kesulitan untuk membeli beras
karena harganya yang mahal.

Namun kekhawatiran ini ditampik Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso. Menurutnya, ke depan ketahanan pangan di Indonesia masih aman-aman saja. Hanya saja dia berharap, masyarakat tidak hanya bergantung dengan beras sebagai
makanan pokok.

"Masalah rawan pangan ini bukan disebabkan masyarakat yang tidak makan beras. Melainkan kurangnya asupan gizi dan kalori. Dan sebenarnya kandungan itu tidak hanya ada di beras. Ubi,singkong dan sagu bisa dijadikan alternatif pemenuhan
gizi dan kalori," terangnya.

Tapi untuk mengalihkan kebiasaan masyarakat mengkonsumsi beras, kata Alimoeso,bukan hanya tugas pemerintah. Menurutnya,perlu gerakan bersama untuk mengalihkan kebutuhan masyarakat dari beras ke makanan pokok yang lain.

Sementara untuk cadangan beras yang berasal dari impor, Alimoeso menjelaskan, sampai saat ini masih aman. Sebab Thailand dan Vietnam telah berjanji untuk mengalokasikan setidaknya 1 juta ton untuk Indonesia.

"Mereka sudah sepakat akan tetap komitmen mengalokasikan masing-masing 1 juta ton untuk kebutuhan Indonesia. karena mereka dulu juga kita bantu saat mereka masih mengalami devisit beras," ujarnya.

Meski demikian kondisi cuaca buruk yang melanda dunia bukan tidak mungkin akan mempengaruhi negara produsen beras. Kalau sudah begini akankah Thailand dan Vietnam tetap memegang komitmennya untuk mengekspor berasnya untuk Indonesia?

"Jangan pernah menggantungkan perut kita kepada orang lain. Kalau sama-sama lapar pasti setiap orang, setiap negara akan mengutamakan dirinya sendiri," kata Sutrisno memperingatkan.


Krisis Pangan
Mentan: Saya Jamin RI Tak Kena Krisis Pangan

Mentan
Jakarta - Food and Agriculture Organization (FAO) dan sejumlah negara yang tergabung dalam G20 telah memberikan warning akan adanya ancaman krisis pangan yang besar pada 2011 ini. Bahkan, ancaman krisis ini bisa menimbulkan kerusuhan di sejumlah negara. Bagaimana dengan Indonesia?

Selama ini Indonesia mengimpor beras ke Thailand dan Vietnam untuk memenuhi cadangan beras nasional. Cadangan beras ini diperlukan untuk mengatur harga beras nasional dan persediaan kalau terjadi kelangkaan pangan. Namun kedua negara ini juga akan menghentikan ekspor berasnya kesejumlah negara, termasuk Indonesa. Vietnam dan Thailand menyetop ekpor beras karena ingin mempertahankan pangan di dalam negerinya masing-masing. Cadangan beras mereka untuk kebutuhan di dalam negeri sudah menipis.

Menteri Pertanian Suswono menyatakan, kondisi pangan Indonesia sebetulnya relatif aman, dengan stok yang selalu tersedia dan ditambah surplus. Impor beras yang dilakukan justru hanya sektar 600.000 ton per tahun ini justru untuk memperkuat stok cadangan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk operasi pasar.

Suswono menerangkan, pada tahun 2010 lalu produksi beras Indonesia sekitar 38 juta ton, sementara kebutuhan konsumsi masyarakat sekitar 33 juta ton. Artinya, masih ada surplus beras sekitar 5 juta ton untuk tahun ini. Guna mengantisipasi
kerawaan pangan ini, pemerintah telah melalukan sejumlah langkah untuk mengantisipasinya baik yang disebabkan perubahan iklim atau pun persoalan lainnya.

"Saya kira untuk Indonesia, saya jamin dan pastikan tidak akan seperti yang dikhawatirkan itu," kata Suswono.

Suswono pun menjamin Indonesia tidak akan mengalami krisis pangan seperti yang diperingatkan oleh FAO.

Berikut wawancara detikcom dengan Menteri Pertanian Suswono di kediamannya, Jl Widya Chandra V No 28, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (23/1/2011) malam:

Kondisi pangan Indonesia bagaimana? Mengingat Vietnam dan Thailand menghentikan ekspor beras dan peringatan FAO soal krisis pangan dunia?

Persoalan ancaman krisis pangan ke depan memang sudah disadari oleh sejumlah negara dunia. Termasuk organisasi-organisasi pangan dunia, sepert Food and Agriculture Organization (FAO) pun telah memberikan warning kepada setiap negara agar masing-masing negara mengamankan ketahanan pangannya, termasuk Indonesia.

Tetapi dengan adanya fakta perubahan iklim yang menjadi bagian dari ancaman krisis pangan ke depan. Kita menyaksikan sendiri betapa perubahan iklim ini begitu nyata dirasakan semua negara, baik negara yang berada di subtropis maupun tropis. Kita saksikan Australia banjir besar, begitu juga di Brazil, turun salju di musim panas. Ini artinya ancaman dari perubahan iklim ini sangat nyata dan punya pengaruh dalam persoalan pangan.

Beberapa negara juga sebenarnya memberikan isyarat, misalnya India yang kini tidak lagi mengekspor gandum. Kemudian juga Vietnam dan Thailand mengisyaratkan mengurangi ekspor beras, yang kemungkinan bisa sampai pada tingkat menghentikan ekspor. Itu bisa terjadi, karena semua negara tentunya ingin mengamankan pangannya masing-masing. Tentu saja bagi Indonesia akan ada dampak tersendiri yang akan dirasakan terkait masalah ini.

Terkait perubahan iklim ini, di tahun 2010 kemarin Indonesia sangat merasakan betul persoalan ini. Sebab, sepanjang tahun 2010 tentu boleh dikatakan hanya satu musim saja, musim hujan. Dulu prediksi Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa bulan April sudah masuk musim kemarau, lalu dikoreksi bulan Juli, tapi tetnyata hujan masih turun. Lalu munculah apa yang disebut kemarau basah, dan faktanya hujan sepanjang satu tahun.

Tentu saja dengan hujan sepanjang tahun ini, ada plus dan minusnya bagi Indonesia. Di satu sisi, dengan hujan sepanjan tahun ada beberapa daerah tadah hujan yang hanya bisa menamam sekali, ternyata bisa dua kali. Akhirnya karena hujan sepanjang tahun, orientasinya menanam padi, karena air yang cukup berlimpah. Tapi di sisi lainnya, dengan menanam padi sepanjang tahun, tanpa pemutusan dengan diselingi menanam varietas lainnya, seperti tanaman hortikultural atau palawija, tentu saja menimbulkan penyakit tanaman.

Sehingga betapa pun luasnya lahan panen terus bertambah karena hujan setahun, tapi dari sisi produksi tidak meningkat secara signifikan. Proses fotosintesis dan pembungaan tidak berjalan dengan baik, karena mendung terus, sehingga hasilnya tidak optimal dan ditambah muncul penyakit tanaman. Oleh karena itu, kenaikan produksi di tahun 2010 sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) hanya menambah 2,46 persen saja.

Artinya, terjadi kenaikan produksi sekitar 4,1 juta ton ditambah dengan stok di akhir tahun sebelumnya menjadikan surplus kita di 2010 sekitar 5,6 juta ton. Sedangkan untuk total produksi beras tahun 2010 sekitar 38 juta ton. Sementara kebutuhan kita sekitar 33 juta ton , sehingga surplus sekitar 5 juta ton.

Tentunya angka 5 juta ton beras bagi Indonesia yang memiliki total jumlah penduduk sekitar 237 juta orang memang sangat riskan. Sebab, jumlah 5 juta ton itu hanya mencukupi dua bulan saja. Karena kebutuhan beras kita itu setiap bulannya sekitar 2,7 juta ton.

Sebetulnya bila dibandingkan dengan Thailand, produktivitas Indonesia di atas negara itu. Kita itu sekitar 5,1 ton per hektar, sedangkan Thailand sekitar 3,5 ton per hektar. Cuma persoalannya, Thailand ini memiliki lahan yang cukup luas,
walau produktivitas padinya 3,5 ton per hektar, dia bisa menghasilkan 27 juta ton beras, kebutuhan Thailand hanya 10 juta ton, surplusnya 10 juta ton, lalu 6 juta ton sebagai cadangan pangan, dan 4 juta ton diekspor. Demikian pula dengan Vietnam yang produksi beras mencapai 17 juta ton, kebutuhannya sekitar 9 juta ton beras, surplus 8 juta ton.

Persoalannya kenapa Indonesia membutuhkan cukup besar beras, karena memang konsumsi perkapita, boleh dikatakan terbesar di dunia. Kebutuhan perkapita kita sekitar 139 kilogram perkapita per tahun. Sedangkan Thailand sekitar 70 kilogram perkapita per tahun, Malaysia sekitar 80 kilogram perkapita per tahun. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang akan kita lakukan dan akan siapkan langkah agar produksi kita tetap aman.

Langkah yang disiapkan untuk mengamankan pangan itu seperti apa?

Pertama yang akan kita lakukan dalam rangka beradaptasi dengan perubahan iklim ini. Kita siapkan benih tanaman padi yang lebih unggul, yang adaptif terhadap perubahan iklim. Untuk dareah yang banyak genangan dan air cukup tinggi, kita
sudah ada varietas yang dikenal varietas Inpara.

Untuk daerah yang sedikit airnya, kering atau tadah hujan ada varietas Inpago atau yang dikenal Padi Gogo. Dan untuk menghadapi hama wereng yang merajalela, kita sudah ada varietas yang tahan hama itu namanya Inpari-13, untuk varietas
ini ada Inpari-2, Inpari-3, Inpari-6 dan Inpari-13. Ini dari sisi benihnya.

Kedua, tentu juga kita siapkan pengelolaan dan pemeliharaan tanaman itu sendiri. Kita pun sudah meminta agar petani bisa menyesuaikan dengan perubahan iklim melalui sekolah-sekolah lapang. Sekolah lapang ini kita adakan yang kita kenal
dengan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Juga ada Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) dan Sekolah Lapang Iklim (SLI). Sekolah ini kita adakan agar para petani bisa belajar langsung di lapangan terkait apa yang mesti dia lakukan dalam situasi dan kondisi seperti itu.

Ketiga dari sisi infrastruktur, kita ada program pembenahan. Pekerjaan Umum (PU) saat ini sedang mengerjakan primer dan sekundernya. Tersiernya merupakan tanggung jawab Kementerian Pertanian, jadi ada perbaikan irigasi teknis tersier.
Di antaranya melalui pembenahan Jaringan Irgasi Desa (Jides), kemudian Jaringan Irigasi Tatausaha Tani (Jitut). Untuk daerah pasang surut, kita kenal Tata Air Mikro. Ini upaya-upaya pengendalian air agar bisa optimal.

Sementara untuk daerah tadah hujan dan kering, kita siapkan rencana membangun Embung, semacam cek dam atau dam kecil. Kita akan membangun sekitar 2.700 Embung, yang akan menampung air di saat musim hujan, yang sewaktu-waktu di musim kemarau, air masih tetap tersedia.

Selain itu kita lakukan Gerakan Pemberantasan Hama. Kita siapkan dengan obat-obatan. Begitu juga saat pasca panennya, ini pun kita amankan saat panen. Ketika merontokan padi tidak banyak yang lost, terbuang dan tercecer. Lalu saat pengeringan, apalagi mendung dan hujan terus menerus akan menurunkan kualitas gabah padi, maka kita siapkan alat pengering. Ini upaya-upaya yang akan maksimal kita lakukan.

Langkah lainnya yang dilakukan di daerah bagaimana?

Sebetulnya bicara soal ketahanan pangan juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda). Peran terdepan sebetulnya adalah pemda, oleh karena itu kesigapan dari aparatur pemda sangat penting. Pemerintah pusat ini posisinya adalah berjaga-jaga ketika daerah itu tidak sanggup menangani, kita akan back up mereka. Ketahanan pangan ini sebetulnya meliputi tiga aspek.

Pertama, dari sisi ketersediaannya. Jadi kita akan mengoptimalkan bagaiman produk-produksi itu optimal disediakan dari dalam negeri, bukan luar negeri. Makanya tahun 2011 kita targetkan surplusnya tidak hanya 5 juta ton, tapi mampu surplus sampai 10 juta ton. Langkah agar target ini terpenuhi, pertama bagaimana kita meningkatkan Indeks Pertanaman (IP). Rata-rata IP kita sekarang 1,8 lalu ditingkatkan menjadi di atas 2. Misalnya IP itu, karena ada hujan panen sekali.

Yang tidak kalah pentingnya saat ini perlunya ekstensifikasi (perluasan) tambahan lahan panen melalui tambahan sawah baru. Sebab tanpa tambahan areal sawah baru, karena salah satu ancaman yang terjadi saat ini adalah konversi lahan. Di Jawa saja
setiap tahun konversi lahan terus dilakukan tanpa ada pengendalian yang baik dari pimpinan daerah. Banyak perumahan-perumahan dibuat di areal pertanian. Jadi salah satu yang akan dilakukan adalah pencetakan sawah baru.

Tahun 2011 ini kita targetkan 70.000 hektar sawah baru, diharapkan sampai 2014 bisa menambahkan areal lahan tanaman pangan sampai 2 juta hektar. Kedua adalah aksesibilitas, artinya kemampuan masyarakat untuk membeli bahan pangan. Makanya ketika ada orang menggugat kita, katanya produksi surplus, tapi kenapa impor? Orang ini tidak ngerti padahal dia katanya orang ahli. Tapi menurut saya itu terlalu naif mengatakan seperti itu.

Kalau bicara soal ketersedian, faktanya ada tidak, anda melihat sejumlah warung, toko dan lain sebagainya berasnya kosong sampai orang ngantre. Ada tidak? Tidak pernah kan. Cuma harganya tinggi, ini kan persoalan harga dan daya beli masyarakat, ini persoalan yang berbeda.

Persoalan harga tinggi ini kan bisa dipermainkan pedagang, seperti kasus naiknya harga Cabe. Di petani harganya cuma Rp 20.000 perkilogram, kok di pedagang bisa Rp 100.000 per kilogram. Impor (beras) yang kita lakukan kemarin ini atau yang
masih dilakukan adalah untuk memperkuat stok pangan di Badan Urusan Logistik (Perum Bulog). Jadi untuk memperkuat, daripada suatu waktu kita kekurangan, harga tinggi karena dipermainkan pedagang, Bulog bisa melakukan Operasi Pasar.

Pertanyaannya kenapa Bulog tidak menyerap beras dari dalam negeri?

Pada saat panen raya pada bulan Maret-April tahun lalu, Bulog tidak bisa membeli beras dalam negeri, karena kualitas gabah atau berasnya di bawah standar yang telah ditentukan. Kalau Bulog tetap membeli ini berarti bisa menjadi temuan Kejaksaan, banyak orang Bulog yang akan dipanggil Kejaksaan. Ini menjadi masalah, jadi alasannya itu. Setiap tahun panen selalu ada, kenapa Bulog tidak beli juga dari dalam negeri. Harganya di atas harga pembelian pemerintah (HPP), karena Bulog dipatok dengan dua syarat, yaitu kualitas memenuhi syarat dan HPP-nya terjangkau.

Bulog itu mematok harga Rp 2.640 perkilogram gabah kering, karena harga ini sangat menguntungkan bagi petani. Kebutuhan impor juga untuk kebutuhan beras bagi keluarga miskin (Raskin). Persoalannya, banyak masyarakat yang tidak mau juga, selain itu banyak pedagang yang justru malah memborong ini. Salah satu kendala lainya, juga banyak petani justru menyimpan sendiri hasil panennya untuk kebutuhan mereka sendiri, dan dijual kalau mereka memerlukan saja.

Persoalan tengkulak, pengusaha besar yang berjualan beras, kenapa tidak ditertibkan?

Begini, memang banyak yang berjualan komoditas lainnya seperti Kedelai, Kacang, Jagung atau Padi. Pada umumnya, orientasi kenapa mereka berdagang hanya untuk mencari keuntungan yang besar. Jadi motifnya itu tidak politis atau yang lainnya. Cuma pengendalian atau penertiban terhadap para pedagang yang mempermainkan harga di pasaran itu bukan tataran Kementerian Pertanian yang hanya mengurusi lahan, bibit dan pengelolaan tanaman sampai panen saja.

Sementara untuk pengendalian harga sudah menjadi kewenangan institusi atau kementerian yang lainnya untuk menangani soal perniagaan ini. Jadi motifnya hanya mencari untung saja.

Bagimana dengan program Food Estate di Papua?

Oh iya, Food Estate ini sebenarnya adalah salah satu solusi yang digunakan pemerintah untuk mengatasi ancaman krisis pangan. Di antaranya bagaimana mengembangkan daerah di luar Jawa, dalam hal ini Papua bagian selatan, seperti di Meurauke.

Dipilihnya Merauke sebagai lokasi pengembangan food estate karena beberapa hal. Pertama, kawasan mampu memasok pangan untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor beras sebesar 1,95 juta ton per tahun, jagung sekitar 2,20 juta ton, kedelai sekitar 167.000 ton. Pengembangan kawasan budi daya tanaman pangan dan energi skala luas di Merauke akan mengoptimalkan fungsi lahan cadangan yang areanya cukup luas yang selama ini berstatus lahan tidur menjadi lahan produktif, dan bernilai tambah ekonomi.

Katanya Food estate yang berbasis kearifan lokal, tapi justru memaksakan menanam padi?

Sebenarnya ini kan sudah dimulai sejak lama, sejak pemerintahan sebelumnya. Kita ini pas kena puncaknya kena imbas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya. Memang sudah lama masyarakat Papua ada yang menanam padi dan memakan
beras. Nah, sekarang kalau disuruh balik lagi makan singkong atau umbi-umbian demi alasan kearifan lokal, mereka pasti tidak mau dan akan menolak.

Ini sama kondisinya seperti di Ambon, di mana masyarakatnya sejak dulu makan sagu, lalu atas kebijakan pemerintah di masa lalu diminta menanam padi, lalu sekarang dipaksa balik lagi makan sagu. Ini akan sulit, karena sudah terbiasa.

Kembali soal warning FAO tentang ancaman krisis pangan yang bisa memicu kerusuhan di suatu negara atau dunia?

Itu memang menjadi kekhawatiran kita semua, termasuk di Indonesia. Begini, persoalan pangan itu memang sangat fundamental, karena ini kebutuhan langsung kehidupan masyarakatnya. Kalau ini tidak dikelola dengan baik, memang akan memunculkan gejolak-gejolak di masyarakat. Kita bisa lihat ada Presiden yang digulingkan dan jatuh kepempimpinannya gara-gara persoalan pangan ini. Persoalan pangan bisa menyebabkan perang juga, kalau memang sudah sangat parah.

Namun begitu, saya kira untuk Indonesia, saya jamin dan pastikan tidak akan seperti yang dikhawatirkan itu. Karena apa? Stok pangan kita masih bisa terjamin persediaannya. Produktivitas pertanian kita masih besar, bahkan bisa surplus, walau memang perlu untuk ditingkatkan supaya bisa berjaga-jaga bila ada kelangkaan pangan. Saya kira kelangkaan ini juga kan karena ulah para pedagang di pasar.

Soal stok beras kita masih banyak, coba anda perhatikan di Pasar Induk Jatinegara, Jakarta Timur. Apakah kosong atau langka? Anda bayangkan sampai sekarang saja di Pasar Induk Jatinegara setiap harinya memasok sekitar 100.000 ton beras. Oleh karena itu, tidak perlu terlalu kkawatir dengan kondisi saat ini. Mudah-mudahan, apa yang menjadi warning itu tidak sampai ke Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar