Laman

Sabtu, 11 September 2010

Ganyang Malaysia?

Unjuk rasa menentang Malaysia mengenai masalah perbatasan masih terus saja bermunculan di banyak tempat. Para pengunjuk rasa umumnya terdiri dari generasi muda.

Pola unjuk rasa mereka umumnya membakar bendera Malaysia sembari menuntut agar Pemerintah Indonesia bersikap lebih ”tegas” karena menganggap bahwa harga diri dan kedaulatan bangsa telah diinjak oleh negeri jiran tersebut.

Cukup banyak yang bahkan menuntut agar kita kembali ”mengganyang” Malaysia seperti pada tahun 1960-an, malah kalau perlu berperang. Apa yang sebenarnya kita ketahui tentang zaman konfrontasi itu?

Istilah ”konfrontasi” dipopulerkan Menteri Luar Negeri Soebandrio pada 20 Januari 1963. Sikap bermusuhan terhadap Malaysia kemudian dipertegas oleh Presiden Soekarno lewat diumumkannya perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada 3 Mei 1963.

Isinya, selain perintah untuk memperkuat ketahanan revolusi Indonesia, seluruh rakyat juga diperintahkan membantu perjuangan rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia. Indonesia menganggap pembentukan Federasi Malaysia yang didalangi Inggris sebagai upaya nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) membentuk sebuah negara boneka.

Adapun istilah ”Ganyang Malaysia” dilahirkan Bung Karno. Presiden pertama RI itu sangat gusar ketika dalam demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur pada 17 Desember 1963 para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek- robek foto Soekarno, dan membawa lambang Garuda Pancasila ke hadapan PM Malaysia waktu itu, Tunku Abdul Rahman, dan memaksanya menginjak lambang Garuda tersebut.

Insiden itu membuat Bung Karno murka. Ia pun berpidato:

”Kalau kita lapar itu biasa. Kalau kita malu, itu juga biasa. Namun, kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar! Kerahkan pasukan ke Kalimantan, hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat, jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak Malaysian keparat itu.”

”Doakan aku, aku akan berangkat ke medan juang sebagai patriot bangsa, sebagai martir bangsa, dan sebagai peluru bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.”

”Serukan, serukan ke seluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini. Kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.”

”Yoo... ayooo... kita ganyang. Ganyang Malaysia! Ganyang Malaysia! Bulatkan tekad. Semangat kita baja. Peluru kita banyak. Nyawa kita banyak. Bila perlu satoe- satoe!”

Rencana nekolim

Dibakar oleh pidato Bung Karno melalui radio itu (waktu itu radio merupakan media utama informasi), gerakan Ganyang Malaysia pun meledak ke seluruh negeri. Pendaftaran sukarelawan terjadi di mana-mana. Semangat bangsa saat itu memang sedang melambung setelah keberhasilan kita membebaskan Irian Barat pada tahun 1962.

Waktu itu, secara militer Indonesia merupakan negara terkuat di Asia Tenggara, terutama berkat persenjataan yang dibeli dari Uni Soviet. Semangat antinekolim juga sangat tinggi. Inggris pada tahun 1960-an itu masih merupakan kekuatan global.

Sebenarnya, Indonesia (dan Filipina) secara resmi setuju menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas rakyat di daerah yang akan dilakukan dekolonisasi menyetujui lewat referendum yang diorganisasi PBB. Namun, sebelum hasil referendum diumumkan, pembentukan Malaysia sudah diresmikan pada 16 September 1963, sesuatu yang dianggap Indonesia sebagai bukti rencana nekolim untuk terus mengangkangi Asia Tenggara.

Dari segi militer konfrontasi Indonesia-Malaysia, umum disebut sebagai undeclared war karena perang terjadi tanpa pernah didahului pernyataan perang. Inggris dan sekutunya (Malaysia, Australia, dan Selandia Baru) waktu itu memiliki sekitar 17.000 anggota pasukan di Kalimantan serta 10.000 anggota pasukan yang ada di Semenanjung Melayu.

Pertempuran kecil-kecilan (skirmishes) tentara Indonesia dengan Inggris terutama terjadi di perbatasan Kalimantan. Ada juga penyusupan tentara Indonesia di Semenanjung Malaysia.

Konfrontasi berakhir setelah Presiden Soekarno digantikan oleh Presiden Soeharto. Jumlah korban tewas di kedua belah pihak lebih besar berada di pihak Indonesia (sekitar 590 orang dibandingkan dengan Inggris, Australia, Selandia Baru yang hanya 114 jiwa).

Dalam rangkaian konfrontasi ini, sebuah insiden pernah terjadi antara Indonesia dan Singapura tatkala Singapura tetap menggantung dua prajurit marinir Indonesia yang tertangkap waktu menyusup ke Singapura meski Presiden Soeharto sudah mengirim utusan khusus agar hukuman itu diperingan.

Insiden itu lama terekam dalam ingatan kolektif bangsa, antara lain lewat syair yang dinyanyikan dalam permainan kim (main tebak angka berhadiah ala Minang yang kemudian dilarang karena dianggap judi). Bunyinya ”Lee Kuan Yew sangat kejam, membunuh dua pahlawan, nama Harun dan Usman”.

Semua peserta tebak-tebakan pun langsung mafhum, angka yang keluar adalah 68, yakni tahun terjadinya penggantungan itu.

Kini kedua pemerintah, Indonesia dan Malaysia, sepakat menyelesaikan insiden perbatasan melalui jalur diplomasi (soft power). Pemakaian kekerasan atau hard power dianggap tidak akan dapat memecahkan masalah.

Namun, perlu diingat, dalam penyelesaian suatu sengketa perbatasan, hard power sering diperlukan sebagai back-up dari diplomasi. Sengketa Irian Barat (Papua) dengan Belanda juga bisa dimenangkan dengan perpaduan kedua hal itu.

Publik mestinya masih ingat, sewaktu penyelesaian kasus sengketa Sipadan-Ligitan dengan Malaysia pada 2002, melalui Mahkamah Internasional pemerintah berusaha meyakinkan masyarakat bahwa kans kita menang fifty-fifty karena kita mempunyai bukti-bukti yang sahih tentang kepemilikan dua pulau tersebut.

Ternyata hasilnya jeblok. Kita kalah karena hanya satu hakim yang memenangkan dalih-dalih kita dan 16 lainnya menolak.

*Susanto Pudjomartono, Wartawan Senior

Tidak ada komentar:

Posting Komentar