JAMBI EKSPRES:
Rabu, 15 Desember 2010 20:51 WIB
Antrian mendapatkan tiket semifinal pertandingan Piala AFF (15/12)
Jakarta
Jarang sekali masyarakat negeri ini seantusias sekarang dalam memimpikan hadirnya timnas yang dapat berjaya di setiap laga, sampai-sampai mereka rela berjam-jam antri untuk mendapatkan tiket pertandingan semifinal Indonesia versus Filipina di ajang Piala AFF Kamis dan Minggu pekan ini.
Terik panas mentari di siang hari dan deras hujan di kesoreannya, tidak mematahkan perjuangan mereka mendapatkan secarik kertas yang menjadi "kartu pas" untuk menyaksikan salah satu partai sepakbola yang mungkin paling diburu dalam sejarah sepakbola nasional.
"Animo masyarakat sangat tinggi," kata Ketua Panita Bidang Tiket Edhi Prasetyo, menunjuk begitu cepat ludesnya tiket yang dijual.
Edhi mengatakan, tiket leg pertama sudah habis terjual, bahkan tiket untuk leg kedua sudah terjual sekitar 82 persen.
Semifinal Piala AFF ini digelar dalam dua leg. Seharusnya Filipina menuanrumahi leg pertama, namun berhubung negeri ini tidak memiliki lapangan yang layak, maka leg kedua pun dilangsungkan di Indonesia.
Berbagai kalangan berbeda latar belakang dan asal, dari ibu rumah tangga sampai anak SMA, rela berbaris panjang untuk mendapatkan tiket semifinal itu.
Ricky Pratama, siswa SMU Citra Nusa Bogor, begitu berharap mendapatkan satu tiket untuknya, walau sudah dua jam tiket belum juga sampai ke tangannya. Pikirnya, apapun saya harus pulang mendapatkan tiket.
"Sudah jauh-jauh datang, pakai ditilang dulu lagi, masa tidak dapat?" katanya. Sejam sebelum sampai di Stadion Utama Gelora Bung Karno, motor yang dikendarainya dihentikan polisi karena melanggar peraturan lalu lintas.
Tekad sama dicetuskan Riko Tresnata, pemuda Cibubur yang berkuliah di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta.
Riko juga bersumpah tetap mengantri hingga tiket dia dapatkan. "Percuma saya libur kuliah kalau tidak nonton pertandingan ini," katanya.
Lain dengan Nina Andinia. Ibu muda yang mengaku tinggal di Jakarta Selatan ini mengajak serta suami ke Gelora Bung Karno.
"Saya bergantian mengantri dengan suami agar tidak lelah," kata Nina.
Dia mengaku tidak terlalu hobi menonton pertandingan sepakbola, namun kali ini dia memutuskan memaksakan diri menonton bersama suami yang memang gila bola, dan anak semata Wayang mereka yang berumur 5 tahun.
"Sekali-kali nonton bola di stadion ah," katanya.
Jiwa nasionalis
"Perjuangan" mereka mendapatkan tiket cukup berliku. Sesekali mereka melontarkan keluhan, mengapa harus sesulit ini hanya untuk mendapatkan satu tiket. Panitia penjualan tiket pun menjadi sasaran kekesalan mereka.
"Harusnya panitia memperbanyak pintu loket, jangan hanya dua," kata Ricky yang antri sejak pukul 12.00 WIB dan sampai pukul 14.30 belum juga mendapatkan tiket.
ANTARA News sendiri melihat, panitia hanya membuka dua loket penjualan tiket di Pintu Satu, Gelora Bung Karno.
Edhi Prasetyo menyebutkan langkah itu harus dilakukannya. "Kami menjual tiket untuk kategori satu dan dua," katanya.
Daya tampung stadion sendiri 87.000 tempat duduk. Panitia menyiapkan 70.725 ribu tiket untuk umum, sementara sisanya dijual untuk kalangan khusus.
"Presiden SBY juga membeli tiket lho, nggak gratis," kata Edhi.
Dia mengingatkan untuk selalu membeli tiket sebelum hari "H" di lokasi yang telah ditentukan panitia. Masalahnya, banyak pengantri tetap melihat panitia tak cukup siap mengantisipasi membludaknya penonton.
"Dari animo masyarakat yang tinggi kan seeharusnya panitia sudah bisa menerka berapa banyak yang ingin menonton," kata Riko Tresnata.
Resiad Nur, mahasiswi Universitas Bina Nusantara, Jakarta, bersuara lebih pedas dengan mengatakan panitia tidak belajar dari pertandingan sebelumnya.
"Seharusnya panitia bisa menangani antri yang panjang ini karena acara AFF di Indonesia bukan yang pertama," katanya.
Tak semua pengantri mengeluh. Banyak juga yang menganggap sudah biasa berkeringat terlebih dahulu untuk mendapatkan tiket pertandingan olah raga.
Yang lainnya malah menyiasatinya dengan berpagi-pagi datang stadion, bahkan ada yang jauh sebelum loket dibuka.
"Saya datang dari tadi pagi jam delapan (pagi)," kata Libra Lavina.
Libra akan membeli tiga tiket. Satu tiket untuknya, satu untuk istrinya, dan satunya lagi untuk anak mereka. "Saya ingin mengajarkan jiwa nasionalis kepada anak saya dari dini," katanya.
Mengenal betul
Sebagian besar dari mereka asalah memang penggila bola sehingga jangan heran jika mereka mengenal betul tim yang mereka puja dan harapkan meraih titel juara ini.
Mereka hafal karakter permainan timnas, apalagi para pemain yang menghuni skuad nasional ini, termasuk kelebihan-kelebihan para pemain.
"Firman Utina seperti roh dan pengatur serangan di tim, sama halnya dengan Xavi Hernandes di Barcelona," kata Riko membandingkan si kapten timnas dengan "playmaker" dari Spanyol.
Sementara Nina, seperti kebanyakan perempuan penyuka timnas lainnya, mengidolakan penyerang naturalisasi, Irfan Bachdim.
"Irfan selain bagus mainnya, juga tampan," katanya diiringi senyum tipis, menoleh sebentar ke arah suaminya.
Libra agak lain. Dia mengidolakan semua pemain timnas dan menganggap semua pemain harus diidolakan. "Semuanya patut diidolakan karena mereka team work," katanya.
Ada juga yang menyayangkan tidak sertanya sejumlah pemain yang selama ini dikenal bintang sepakbola nasional, seperti Boaz Salossa.
Salah seorang yang menyesalkan ketidakhadiran Boaz adalah Ricky.
"Sayang sekali Boas nggak ikut, padahal dia memiliki kecepatan yang patut diperhitungkan lawan," katanya.
Satu hal yang patut diketahui adalah masyarakat ternyata tidak dibelah oleh status pemain, apakah dia naturalisasi, berasal dari mana, dan klub mana. Acuannya cuma satu, prestasi si pemain itu.
Riko misalnya. Dia tak melihat naturalisasi masalah, justru menyayangkan PSSI yang terlambat merekrut pemain naturalisasi. "Kenapa tidak dari dulu sih?" ujarnya.
Mereka jelas pemerhati sepakbola nasional yang baik, dan tidak hanya itu karena mereka sudah menganggap timnas sebagai kepunyaan mereka sehingga merasa memiliki andil dalam bagaimana timnas tangguh dibentuk.
Dalam soal ini, Libra mengusulkan bibit-bibit ungggul di daerah-daerah diasah, dengan memperbanyak pertandingan lokal. "Papua menyimpan bibit unggul Indonesia pada masa depan," katanya berusul.
Sebaliknya Riko melihat kualitas permainan timnas sekarang lebih bagus dari sebelumnya. "Hanya saja, pelatih harus mencari pemain belakang yang lebih tangguh," katanya.
Bak komentator sepakbola, Riko melanjutkan, para gelandang tak boleh sepenuhnya membantu pertahanan. Mereka harus fokus menyuplai bola ke depan.
"Saya melihat Maman Abdurahaman dkk kewalahan saat menerima serangan Thailand terutama ketika serangan balik," sambungnya.
Ya, mereka tak hanya mencintai timnas, tapi juga merasa juga pemilik timnas, sampai-sampai berbicara seolah timnas adalah diri mereka.
Kecintaan pada timnas ini membuat mereka optimistis timnas bakal berjaya memukul Filipina.
Sekarang, coba tebak, apa prediksi mereka tentang hasil pertandingan nanti?
"2-1!" kata Ricky yakin. Nina menyambung, "Pasti 6-0!"
Semoga impian mereka terwujud. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar