JAMBI EKSPRES:
Minggu, 12 Desember 2010 22:45 WIB
Bob Widyahartono.
Jakarta
Negara dan bangsa China kini semakin terlihat siap memasuki dasawarsa kedua abad 21. Banyak kalangan membuat prediksi bahwa China tidak hanya di kawasan timur/pantai, tetapi kawasan sentral dan barat yang menggeliat secara bertahap mulai menjadi bangsa yang sejahtera dalam satu atau dua dekade mendatang.
Sekalipun, China juga bisa punya masalah berupa gangguan "adu domba" ala kapitalis dari kalangan dunia barat dengan kaki-tangan mereka.
Deng Xiaoping, pemimpin China yang juga salah seorang negarawan besar abad 20, semasa hidupnya pernah mengungkapkan bahwa bagi bangsa China menjadi kaya/sejahtera secara terhormat bukanlah dosa
Ia mengungkapkan hal itu ketika awal 1992 melakukan kunjungan ke kawasan wilayah Selatan (southern tour), yakni Pantai Timur China. Deng menilai, menjadi sejahtera tanpa kelicikan dan tanpa korupsi.
Jelas dan tegas adalah ciri khas penyelesaian kasus korupsi di China. Berat hukumannya, bahkan sampai hukuman mati. Belum lagi masuknya era teknologi informasi, sehingga struktur pembangunan berbasis sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan pembangunan fisik ikut membuka “tirai bambu” China.
Upaya banyak kalangan untuk memahami budaya China tidak akan diperoleh hanya dengan satu kali analisis sederhana saja. Setiap individu di China memiliki perspektif pemikiran yang berbeda, yang berdampak pada pola pemahaman, konseptualisasi dan aktualisasi diri.
Setiap kali kita membahas dan menelaah budaya China, maka akan selalu mempunyai daya tarik tersendiri. Budaya China merupakan salah satu yang tertua di dunia.
Pertanyaan yang sering muncul dalam telaah tersebut: Apakah dasar-dasar budaya masih mengakar kuat atau mengalami kemandekan dalam benak pikiran bangsa China? Apakah hal ini karena dampak modernisasi sebagai akibat kemajuan teknologi informasi, pembangunan infrastruktur fisik jalanan, pelabuhan dan sarana transportasi yang makin maju.
Dengan memahami arah kecenderungan tersebut, maka muncul pertanyaan bagaimana hakikat wawasan budaya China agarnya bangsanya menjadi kaya ataukah kemakmuran individual?
Bagi bangsa China ajaran kuno Konfusius dan para filsuf masih dihayati, meskipun sudah tidak demikian mendalamnya. Atau cara pandang manusia China secara individual mengalami erosi dalam memandang “menjadi kaya secara kultural” karena sebelum 1980an mengalami berbagai hambatan dalam sikap pandang.
Intinya, mengenai sikap menjadi kaya/sejahtera atau menggapai kemakmuran, maka Konfusius menyatakan: “Kemakmuran dan kehormatan merupakan hasrat setiap manusia. Tetapi, kalau keduanya diperoleh secara tidak wajar, maka kedua sikap pandang itu tidak patut dimiliki lebih lanjut.”
Seseorang menjadi unggul melalui upaya pengembangan diri dengan wawasan untuk membantu orang lain atau bahkan membantu setiap orang (self-cultiviation with a view to helping others and further everybody).
Kalau menelaah sejarah China, maka politik dan sosialnya yang penuh kekalutan (turmoils), telah membentuk suatu sikap praktis yang keras, yang dapat disarikan dalam sistem nilai bertahan hidup (life-raft values) dalam segala kondisi dan cuaca.
Oleh karena itu, bangsa China mengenal pola hidup sebagai berikut:
1. sikap hemat memastikan ketahanan hidup,
2. tingkat menabung yang tinggi yang bahkan tak masuk akal, sekalipun adanya kebutuhan mendesak,
3. kerja keras sampai kehabisan nafas untuk melawan hambatan yang ada dalam dunia yang tidak dapat diprediksi,
4. orang yang dapat dipercayai adalah dari lingkungan keluarga,
5. kepatuhan pada kepala keluarga dan selalu bersiap setiap saat untuk memiliki daya tahan yang kuat.
Rakyat Cina tidak hanya di kawasan pesisir, tetapi sampai ke pedalaman juga berupaya ikut menikmati sekaligus mengejar materialisme. Mereka tidak mau ketinggalan dalam upaya mencapai kemakmuran individual, sekalipun karena kehidupan dinamis kadang membawa kejutan budaya dalam arti makin menipisnya pegangan spiritual (spiritual civilization).
Materialisme dewasa ini berpengaruh kuat pada kaum muda China, yang tergolong kelas menengah. Bahkan, topik pembicaraan mereka adalah "bagaimana mencari kesejahteraan yang lebih baik dalam penghasilan uang yang lebih besar". Di kalangan para pemimpin yang tergolong memiliki motivasi berprestasi, yang menjadi makna kepemimpinan adalah uang yang makin besar jumlahnya.
Namun, beberapa pengamat yang mendalami filosofi spiritual tetap berpijak pada kenyataan sehari-hari, mengungkapkan akan munculnya gugatan intinya dari kejaran individu untuk memiliki uang yang makin membesar jumlahnya akan membawa ke sikap hidup kembali ke kombinasi antara ilmu pengetahuan yang eksak dan dasar filisofi.
Inti dari gugatan diri/nurani adalah "apa tujuan hakiki hidup? Apa nilai kehidupan? dan Mengapa dirinya ada di dunia ini?"
Sebagai bangsa Timur yang kaya filosofi, maka bagi masyarakat China gugatan diri semacam ini mereka yakini akan selalu muncul saat dirinya mau melakukan meditasi setiap pagi dan akhir hari sebelum istirahat, dengan menyadari adanya ketimpangan dalam diri masyarakat.
Kembali pada meditasi secara berkesinambungan setiap harinya memantapkan kesadaran kenal diri dengan berupaya menjadi manusia sejati (real human), menjadi langkah awal untuk melangkah lebih proporsional dalam dunia yang penuh gelolak sebagai dampak kemajuan teknologi baru, struktur sosial dan interaksi antar-individu dan jejaring sosialnya.
Beberapa butir tantangan hakiki itulah yang selama ini terus berkembang di China, dan makin mengristal di tengah tekanan kemajuan masyarakat global memasuki dasawarsa kedua abad ke-21. (*)
*) Bob Widyahartono, M.A. adalah pengamat ekonomi dan sosial Asia Timur; Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar