Laman

Jumat, 25 Juni 2010

SEJARAH DAN WARISAN MINANG KABAU KUNO

Selasa, 22 Juni 2010
SEJARAH DAN WARISAN MINANG KABAU KUNO
a' category.
Warisan Ukiran dari Yunani Kuno

October 27, 2009 in Hasil Budaya, Hipotesa, Interpretasi, Penelitian | 3 comments

Dalam tulisan sebelumnya yang berjudul Warisan Ukiran dari Gandhara, saya telah menyajikan sebuah hipotesa tentang keterkaitan antara kebudayaan hellenisme yang berkembang di Gandhara pada sekitar awal abad Masehi dengan kebudayaan yang berkembang di Minangkabau. Objek yang menjadi aspek penelitian saya diantaranya adalah kesamaan antara motif ukiran Minangkabau dengan motif ukiran bergaya hellas yang berkembang di Gandhara. Selain itu sistem pemerintahan yang berlaku di Minangkabau juga memiliki kemiripan dengan sistem ketatanegaraan Yunani kuno, yaitu berbentuk konfederasi nagari yang mirip dengan polis-polis.

Penemuan-penemuan tersebut membawa saya lebih lanjut untuk menelusuri kemiripan-kemiripan ini, utamanya tentang motif ukiran Minangkabau. Saya menelusuri informasi tentang motif-motif ukiran Yunani kuno dan menemukan satu jenis motif dengan kemiripan hampir 80% dengan motif Siriah Gadang yang ada dalam khazanah motif ukiran Minangkabau. Berikut adalah perbandingan kedua motif ukiran:

ancient-greek-architectur-7(a) Ancient Greek Carving (Honeysuckle Carving)

Siriah Gadang(b) Motif ukiran Minangkabau : Siriah Gadang

Siriah gadang siriah balingka
Kuniang sacoreng diatehnyo
Baaleh batadah tampan
Hulu adat kapalo baso
Pangka kato hulu bicaro
Panyingkok peti bunian
Pambukak biliak nan dalam

Susunan dari Pariangan
Buatan Parpatiah Nan Sabatang
Tidan nan turun dari ateh
Balingka jo mufakat balingka jo limbago
Jadi pusako alam nangko Read the rest of this entry »
Perbedaan Adat Koto Piliang Dengan Bodi Caniago

October 25, 2009 in Hasil Budaya, Ketatanegaraan | 1 comment

1. Memutuskan Perkara
Menghadapi sesuatu permasalahan dalam memutuskan perkara, Bodi Caniago berpedoman kepada “…tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati, dilahia lah samo nyato di batin buliah diliekti…” (tuah karena sekata, mulanya rundingan dimufakati, dilahir sudah sama nyata, dibatin boleh dilihat). Artinya sesuatu pekerjaan atau menghadapi sesuatu persolan terlebih dahulu hendaklah dimufakati, dimusyawarahkan. Hasil dari mufakat ini benar-benar atas suara bersama, sedangkan Koto Piliang berdasarkan kepada “…nan babarih nan bapahek, nan baukua, nan bakabuang : coreng barih buliah diliek, cupak panuah bantangnyo bumbuang…” ( yang digaris yang dipahat, yang diukur yang dicoreng : baris boleh dilihat, cupak penuh gantangnya bumbung). Pengertian segala undang-undang atau peraturan yang dibuat sebelumnya dan sudah menjadi keputusan bersama harus dilaksanakan dengan arti kata “terbujur lalu terbulintang patah”.

2. Mengambil Keputusan
Dalam mengambil suatu keputusan adat Bodi Caniago berpedoman kepada “…kato surang dibuleti katobasamo kato mufakat, lah dapek rundiang nan saiyo, lah dapek kato nan sabuah, pipiah dan indak basuduik bulek nan indak basandiang, takuruang makanan kunci, tapauik makanan lantak, saukua mako manjadi, sasuai mangko takana, putuih gayuang dek balabeh, putih kato dek mufakat, tabasuik dari bumi…”. (kata seorang dibulati, kata bersama kata mufakat, sudah dapat kata yang sebuah, pipih tidak bersudut, bulat tidak bersanding, terkurung makanan kunci, terpaut makanan lantak, seukur maka terjadi, sesuai maka dipasangkan, putus gayung karena belebas, putus kata karena mufakat, tumbuh dari bumi). Maksud dari sistem adat Bodi Caniago ini yang diutamakan sekali adalah sistem musyawarah mencari mufakat.
Sedangkan Koto Piliang yang menjadi ketentuannya, “…titiak dari ateh, turun dari tanggo, tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo, ikan gadang dalam lauik, ikan makannyo, nan mailia di palik, nan manitiak ditampung…” (titik dari atas, turun dari tanggga, terbujur lalu terbelintang patah, kata sorang besar segala iya, ikan besar dalam laut ikan makannya, yang mengalir di palit yang menitik ditampung).

3. Pengganti Gelar Pusaka
Pada lareh Bodi Caniago seseorang penghulu boleh hidup berkerilahan, yaitu mengganti gelar pusaka kaum selagi orangnya masih hidup. Hal ini bila yang digantikan itu sudah terlalu tua dan tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagai pemimpin anak kemenakan. Dalam adat dikatakan juga “lurahlah dalam, bukiklah tinggi” (lurah sudah dalam, bukik sudah tinggi). Sedangkan pada lareh Koto Piliang “baka mati batungkek budi” (mati bertongkat budi) maksudnya gelarnya itu baru bisa digantikan setelah orangnya meninggal dunia.

4. Kedudukan Penghulu
Pada lareh Koto Piliang ada tingkatan-tingkatan penguasa sebagai pembantu penghulu pucuk, berjenjang naik bertangga turun. Tingkatan penghulu dalam nagari ada penghulu andiko, penghulu suku, dan penghulu pucuk. Penghulu pucuk inilah sebagai pucuk nagari. “bapucuak bulek, baurek tunggang” (berpucuk bulat berurat tunggang). Sedangkan pada Bodi Caniago semua penghulu sederajat duduknya “sahamparan, tagak sapamatang” (duduk sehamparan tegak sepematang).

5. Balai Adat dan Rumah Gadang
Balai adat lareh Koto Piliang mempunyai anjuang kiri kanan berlabuh gajah di tengah-tengah. Anjung kiri kanan ada tempat yang ditinggikan. Ini dari lantai yang lain untuk menempatkan penghulu-penghulu sesuai dengan fungsinya atau tingkatannya. Lantai rumah gadang Koto Piliang ada tingkatannya. Maksudnya juga bila ada persidangan penghulu-penghulu tidak sama tinggi kedudukannya, dia duduk sesuai dengan fungsinya dalam adat.
Pada lareh Bodi Caniago lantai balai adat dan rumah gadang, lantainya datar saja. Semua penghulu duduk sehamparan duduk sama rendah, tegak sama berdiri.
Secara substansial, kedua sistem adat ini sesungguhnya sama-sama bertitik tolak pada azas demokrasi. Perbedaannya hanya terletak pada aksentuasi dalam penyelenggaraan dan perioritas pada hak azasi pribadi disatu pihak dan kepentingan umum dipihak lain. Suatu fenomena yang sudah sama tuanya dengan sejarah kebudayaan umat manusia sendiri.
Filosofi Lumuik Hanyuik dan Sejarah Bangsa Imigran Minangkabau

October 24, 2009 in Hasil Budaya, Hipotesa, Interpretasi, Tarikh | 2 comments

Lumuik Hanyuik adalah salah satu motif ukiran Minangkabau yang diturunkan dari motif Gandara Scrolls, sebuah warisan budaya yang telah ikut mencatat perjalanan sejarah masyarakat Minangkabau. Dalam khazanah kebudayaan Minangkabau, sebuah motif ukiran bukan hanya sebuah hasil budaya berkesenian yang tanpa makna. Ada sebuah filosofi di balik hasil karya itu, ada latar belakang sejarah yang disimpan didalamnya.

lumut hanyut

Motif ukiran Lumuik Hanyuik

Syair berikut ini menggambarkan latar filosofi dari motif Lumuik Hanyuik :


Aka lapuak gagangnyo lapuak
Hiduik nan indak mamiliah tampek
Asa lai lambah, inyo lah tumbuah
Dalam aia bagagang juo

Aia hilia lumuik pun hilia
Walau tasalek di ruang batu
Baguba babondong-bondong
Aia bapasang lumuik bapiuah
Namun hiduik bapantang mati

Baitu untuangnyo lumuik
Indak mancari tampek diam
Hanyo manompang jo aia hilia
Indak mamiliah tampek tumbuah
Asa kasampai ka muaro
Usah cameh badan kahanyuik

Baguru kito kalumuik
Alam takambang jadi guru
Lahianyo lumuik nan disabuik
Bathinnyo Adat Minangkabau

Dilariak di papan tapi
Ukiran rumah nan di lua
Gambaran adat hiasan alam
Pusako salamonyo

Demikianlah, sebuah motif ukiran dengan gamblang menceritakan perjalanan sejarah orang-orang yang mendirikan Kebudayaan Minangkabau. Entah darimana mereka datang, entah sudah berapa daerah yang mereka lalui, entah sudah berapa lautan yang mereka seberangi dan entah sudah berapa pegunungan yang mereka daki.

Filosofi motif ini telah menjelaskan tentang fenomena merantau yang sangat legendaris di kalangan orang Minangkabau bahkan lebih jauh lagi sebelum istilah Minangkabau itu ada. Filosofi motif ini secara nyata merekam aktifitas-aktifitas diaspora yang terjadi ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Ia mengisyaratkan episode-episode sejarah yang panjang yang penuh dengan perjuangan dan cerita-cerita eksodus, cerita-cerita penaklukan, cerita-cerita penyingkiran, cerita-cerita petualangan dan cerita-cerita pembangunan peradaban. Episode-episode ini sejatinya banyak dan berulang-ulang dalam suatu kurun waktu yang panjang. Namun pada hakikatnya ia kembali mengulangi dan merepetisi pola-pola yang sama, yaitu : datang, berkembang, jaya, berkuasa kemudian ditaklukkan, berperang, lari, bertualang dan sekali lagi mengulangi cerita yang sama di daerah baru.

Pola-pola ini selalu berulang sejak zaman hellenisme yang dikenang dengan mitos keturunan Iskandar Zulkarnain itu sampai dengan peristiwa PRRI yang memilukan itu. Pola-pola ini selalu berulang melintasi dimensi ruang yang melewati India, Champa, daerah aliran sungai besar di Riau dan Jambi, Luhak Nan Tigo, Rantau Pesisir, kembali lagi ke daerah aliran sungai tempat asal tadi (namun kali ini menyebutnya sebagai rantau karena telah ditaklukkan kembali), menyebar pula ke sepanjang pantai barat Sumatera dan Semenanjung Malaya dan terus sampai ke ujung-ujung dunia. Pola yang sama telah melintasi waktu yang teramat panjang dari abad ke-3 SM sampai saat ini.

Begitulah orang Minangkabau sejak zaman dahulu kala, kurang lebih seperti lumut (ganggang) sungai yang hanyut. Akarnya lapuk gagangnya lapuk (terlepas dari akar sejarah kegemilangan), hidup tidak memilih tempat, air hilir lumut pun hilir (mengikuti peradaban yang berkembang pada masanya). Lahirnya lumut yang disebut, batinnya Adat Minangkabau.

Kelahiran Silek Minang

October 22, 2009 in Hasil Budaya, Kronik, Nagari, Silek | 2 comments

Kelahiran Silek Minang terjadi pada saat yang bersamaan dengan kelahiran Minangkabau itu sendiri. Silek didirikan oleh Datuak Marajo Panjang dari Padang Panjang dan Datuak Bandaharo Kayo dari Pariangan. Dari pemikiran Datuak Marajo Panjang dan Datuak Bandaharo itulah lahir tiga hukum asli yaitu:

1. Hukum Simumbang Jatuah

2. Hukum Sigamak – Gamak

3. Hukum Silamo – Lamo

Ketiga undang-undang tersebut menjadi standar hukum bagi kedua Datuak (Datuak Perpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan), yang disebut disebut “Bajanjang Naiak Batanggo Turun“.

Pada waktu itu Datuak Suri Dirajo menciptakan ilmu pertahanan diri yang dikenal sebagai “Silek”. Sebelumnya, Datuak Suri Dirajo mewarisi ilmu bela diri (bukan silek) dari sang ayah Cati Bilang Pandai dan Sultan Maharajo Dirajo, ilmu pertahanan diri yang diwarisi oleh ayahnya disebut “Gayuang”.

silek_minang

Gayuang adalah ilmu bela diri yang digunakan untuk melawan atau untuk mengalahkan saingannya, sementara Gayuang terdiri dari dua macam. Gayuang Fisik dan Gayuang Mental. Apa yang dimaksud dengan “Gayuang Lahir” (Gayuang fisik) adalah menendang dengan tiga kaki untuk membunuh target atau lebih baik, yang dikenal dengan “Duo Sajangka Jari” (dua jari sepengukuran).

Dan target adalah diseluruh leher (jakun), pusar, dan kedua atas kaki atau kemaluan. Target ini telah menjadi sumber utama penciptaan Silek. Ilmu Gayuang Angin (Mental) adalah teknik berkelahi untuk mengalahkan lawan dengan sumber kekuatan mentalitas ke tiga sasaran penting dalam tubuh. Jantung, kelenjar getah bening dan hati. Ada juga memerangi mental lain, hal ini tidak disebut “Gayuang” karena itu digunakan beberapa alat atau media lain. Bentuk ilmu bisa bervariasi. Sijundai, Tinggam, Sewai, Parmayo dan sebagainya.
Ilmu ini masih disimpan oleh orang-orang tua Minangkabau sampai dengan saat ini yang dikenal sebagai tabungan ilmu (Panaruahan).

Di samping “Gayuang ilmu” yang dimiliki oleh Datuak Suri Dirajo, ia juga mewarisi ilmu pertahanan diri dari empat pengikut Sultan Maharajo Dirajo yaitu Kuciang Siam, Harimau Campo, Kambiang Hutan dan Anjiang Mualim. Read the rest of this entry »
Menhir di Nagari Mahat

October 22, 2009 in Ekspedisi, Hasil Budaya, Nagari | Leave a comment

Nagari Mahat yang terletak di lembah yang luas dikelilingi bukit-bukit kecil memunyai luas 22.633 km2. Nagari Mahat terletak di Kecamatan Bukit Barisan, Kab. Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Nagari adalah sebuah istilah untuk menyebutkan suatu desa di Minangkabau. Nagari asal usulnya bermula dari Taratak – Dusun – Koto – Nagari.

Taratak adalah tempat awal oleh nenek moyang Minangkabau menetap. Dusun, masyarakatnya yang berkembang kemudian dengan adanya adat, kehidupan masyarakat mulai tersusun, aturan tersebut disebut dusun artinya tersusun. Koto, setelah dusun berkembang karena bertambahnya populasi masyarakat maka timbullah pemikiran untuk meningkatkan adat atau aturan masing-masing dusun, berbagai pemikiran kelompok dapat satu kato berarti satu kata mufakat, maka daerah ini dinamakan sakato, kemudian berdirilah beberapa Koto. Nagari, daerah yang terdiri dari beberapa koto diberi batas atau dipagari karena tiap nagari memiliki aturan adat sendiri, dari kata pagar tersebut muncul istilah nagari.

Di Nagari Mahat banyak ditemukan tinggalan arkeologis, di antaranya menhir, batu dakon, lumpang batu, dan balai-balai batu. Temuan menhir paling dominan yaitu ±800 buah dari berbagai bentuk, ukuran, dan motif hias. Situs-situs megalitik Mahat di antaranya situs Koto Tinggi, Padang Ilalang, Koto Gadang, Ronah, Ampang Gadang, dan lain-lain.

Menhir Mahat

Penentuan tipologi menhir yang beragam di Nagari Mahat dilihat dari variabel-variabel atribut. Variabel tersebut adalah teknologi, bentuk, ukuran, dan pola hias. Teknologi pembuatan menhir di Nagari Mahat dilakukan melalui proses anostractive technology, yakni berupa proses pembentukan hasil melalui pengurangan volume bahan (proses sentrifugal) sehingga menghasilkan bentuk menhir yang sangat beragam. Keragaman nampak pada bentuk ujung atas menhir, bentuk badan seperti hulu pedang, gagang golok, buaya, serta biji-bijian, sedangkan dari arah lengkungan menhir, keseluruhan menhir melengkung ke arah tenggara kecuali di Situs Padang Ilalang, orientasi lengkungannya ke selatan dengan ukuran berkisar antara 30-400 cm. Read the rest of this entry »
Kebudayaan Hellenisme, dari Lembah Sungai Indus ke Minangkabau

October 20, 2009 in Diaspora, Hasil Budaya, Hipotesa, Interpretasi, Kronik, Literatur, Penelitian, Tarikh | 5 comments

Misteri soal mitos orang Minangkabau sebagai keturunan dari Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung dari Macedonia) tidak henti-hentinya menjadi bahan perdebatan sekaligus penelitian. Tidak ada bukti-bukti tertulis dan ranji silsilah yang dapat dijadikan rujukan. Reaksi dari para penerima cerita ini juga cenderung terbagi antar dua kutub ekstrim yaitu kutub sinisme yang nyata-nyata menolak dan antipati terhadap cerita itu bahkan sedikitpun tidak mau mendengar, bahkan malu akan cerita yang mengada ada itu, dan kutub fanatisme yang menerima secara buta dan bangga sebagai sebuah ideologi turunan.

Diluar itu semua saya menemukan di luar sana berserakan serpihan-serpihan yang tak terbantahkan memiliki kaitan dengan Kebudayaan Hellenisme, Sistem Matrilineal dan Sistem Pemerintahan Nagari yang betul-betul khas Yunani. Untuk menjawab semua itu, saya menenggelamkan diri dalam kutub ketiga yaitu kutub kritis dan peneliti. Saya akan mendengar semua sumber baik logis maupun mitos, saya akan memperluas cakupan kajian dengan tidak hanya terkurung dalam tempurung keminangkabauan. Saya memandang mitos tidak dengan cara benar atau salahnya mitos tersebut, namun dengan titik fokus kenapa mitos itu tercipta. Mitos menyimpan kunci-kunci nama tokoh, nama tempat, dan kejadian walaupun miskin informasi tarikh sejarah. Hasil budaya, sistem sosial, pranata sosial politik dan bahasa menyimpan ribuan kunci yang menarik untuk diteliti, tentu saja dengan syarat pertama tadi, yaitu : keluar dari tempurung keminangkabauan.

Dalam tulisan saya sebelumnya saya telah menyinggung soal suku-suku pertama Minangkabau yang menunjukkan asal daerah mereka dan ideologi agama yang menjadi latar belakang mereka. Saya juga sudah mengulas soal ke-identikan antara seni ukiran yang berkembang di Gandhara dengan motif ukiran Minangkabau dalam tulisan warisan ukiran dari Gandhara.

Gandhara di Lembah Sungai Indus (600 SM)

Gandhara merupakan tempat percampuran berbagai budaya dan agama setelah daerah di Lembah Sungai Indus bagian tengah ini ditaklukkan oleh Alexander Agung pada 327 SM. Budaya dan agama yang bercampur baur di Gandhara diantaranya adalah agama tradisional Yunani, Buddha, Hindu dan Zoroatrianisme. Read the rest of this entry »
Warisan Ukiran dari Gandhara

October 18, 2009 in Hasil Budaya, Hipotesa, Interpretasi, Literatur, Penelitian | 6 comments

Dimana itu Gandhara? Gandhara adalah sebuah Kerajaan di Mahajanapada India pada tahun 600 SM. Mahajanapada diterjemahkan kedalam bahasa Inggris sebagai Great Realm yang dalam Bahasa Indonesia berarti Tanah Besar, atau dalam Bahasa Minang kita kenal sebagai Tanah Basa. Istilah Tanah Basa tentunya tidak asing lagi dengan kita sebagai karena daerah ini lah yang disebut sebagai titik pangkal berlayarnya nenek moyang kita yang dalam Tambo Alam Minangkabau disebut sebagai Sultan Maharaja Diraja. Namun kita hanya tahu Tanah Basa itu adalah India tanpa mengetahui, India bagian mana.

Secara tidak sengaja saya menemukan ukiran dari Gandhara berikut ini ketika mempelajari Kebudayaan Hellenisme yang berkembang di Lembah Sungai Indus. Lembah Sungai Indus atau Lembah Hyphasin adalah lokasi paling ujung yang dikunjungi oleh Alexander Agung ketika menaklukkan daerah-daerh timur. Alexander Agung berhenti di sini dan kembali pulang setelah menaklukkan Antiokhia (Turki), Persia (Iran) dan Bactria (Afghanistan).

GandharaScrolls

Gandara Scrolls Motif

Sepintas kita akan terasa akrab dengan motif ukiran tersebut. Tebakan saya ternyata benar, motif ini telah kita kenal dalam keseharian kita sebagai motif-motif utama ukiran Rumah Gadang. Dalam motif ukiran Minangkabau kita mengenalnya sebagai motif Si Kambang Manih dan motif Lumuik Hanyuik. Berikut ini adalah gambar kedua motif tersebut :

(a). Motif Si Kambang Manih

kambang manih

Kambang Manih bungo nan mulia
Timbalan bungo sari manjari
Dicaliah gunung maha biru
Batangkai babuah labek
Balingka baaka cino Read the rest of this entry »
Jejak Dt. Perpatih Nan Sabatang di Nagari Selayo

October 18, 2009 in Hasil Budaya, Kerajaan, Nagari | Leave a comment

Dalam bertani, masyarakat Nagari Selayo sejak dahulu terkenal maju selangkah. Pengairan sawah di daerah ini sudah teratur rapi sejak nagari itu mulai dihuni. Tali Bandar mengairi petak-petak sawah yang membentang luas. Sehingga, masyarakat Selayo sejak dahulu punya pusaka yang memadai, dikenal sebagai orang kaya.

Kondisi ini pulalah yang mengundang, banyak kaum pendatang menumpang hidup di nagari ini. Pendatang ini kebanyakan terbang menumpu-hinggap mencekam di tanah para penghulu, penguasa nagari masa lampau dan berlanjut hingga kini.

Gaya hidup teratur yang berkesan mewah, tidak hanya dibuktikan oleh penampilan masyarakat Selayo dalam mengadakan pesta perhelatan. Tetapi juga terlihat dari susunan perumahan di Nagari Selayo, yang sejak dahulu kala sudah tertata rapi serupa Perumnas.

“Sampai kini, kita akan tetap melihat bentuk pemilikan tanah di Selayo bagai kapling-kapling Perumnas. Semua ini peninggalan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, ketika beliau sering berkunjung ke Selayo,” kata Muzni Hamzah mengutip cerita masa silam saat dijumpai beberapa waktu lampau.

Dalam catatan sejarah, Datuak Parpatiah Nan Sabatang, hidup pada waktu pemerintahan Adityawarman, pada awal abab ke-14 (1315 M). Dalam salah satu versi sejarah disebutkan keberadaan Adityawarman menjadi raja di Kerajaan Pagaruyung, tercatat Datuk Parpatiah Nan Sabatang selaku patih kerajaan. Read the rest of this entry »
Stempel Datuak Katumanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang

October 18, 2009 in Hasil Budaya, Kerajaan, Ketatanegaraan, Literatur, Penelitian | Leave a comment

Umumnya orang Minangkabau – bukan Minang kerbau seperti acap kali ditulis dalam koran Soenting Melajoe pimpinan Mahyuddin Dt. St. Maharadja – mengenal nama Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Mereka termasuk founding father orang Minang. Nama keduanya disebut-sebut dalam berbagai wacana kebudayaan Minangkabau – dalam tambo, dalam cerita rakyat, dalam pidato adat dan pasambahan, dalam kaba, dan mungkin juga dalam mimpi para datuak kita. Konon jejaknya juga dapat dilacak dalam material culture Minangkbau: ada Batu Batikam di Batusangkar, sebagai ‘bukti arkeologis’ percanggahan ideologis yang amat prinsipil antara kedua mamak muyang orang Minang itu: yang satu hendak menegakkan sistem otokratis (ketek babingkah tanah, gadang balingkuang aua [Laras Koto Piliang]), yang lain hendak menerapkan sistem demokratis (titiak dari ateh, bosek dari bumi [Laras Bodi Caniago]). Kata pakar pernaskahan Minangkabau dari Universitas Andalas, Dra. Zuriati M.Hum, kepada saya, tongkat kedua datuak kita itu ditemukan di Solok. Tongkat itu sudah berdaun. Ondeh! Sedangkan almarhum Anas Navis dalam salah satu artikelnya di www.ranah-minang.com menulis bahwa kuburan kedua datuak kita itu yang juga ditemukan di Solok. Wallahualam! Ini kaba orang yang saya kaba(r)kan, dusta orang saya tak serta.

Lepas dari bukti-bukti setengah mengawang di atas tentang Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dalam tulisan ini saya membicarakan ‘bukti’ yang lain yang jarang dibicarakan orang Minang. Bukti itu adalah stempel kedua datuak-muyang kita itu.

Stempel? Jadi, kedua datuak kita itu pandai menulis? Pandai membaca? Kalau mamak muyangnya tidak pandai tulis-baca, tentu anak cucunya pandai maota saja. Cerita yang kita dengar selama ini mengatakan bahwa Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang memang pintar: pandai mambaco dalam raik, pandai manyurek manilantang.

fotostempel

Stempel Datuak Katumanggungan (a) dan Stempel Datuak Parpatiah Nan Sabatang (b).

(Sumber: Leiden University Library Cod.Or. 1745, hal. ii & iii) Read the rest of this entry »
Diposkan oleh RADAR JAMBI di 09:14:00 0 komentar
SEJARAH KERAJAAN CHAMPA
Pasang Surut Kerajaan Champa

October 31, 2009 in Diaspora, Kerajaan, Kronik, Literatur

Nama Champa sedikit banyaknya berpengaruh terhadap kebudayaan Minangkabau. Asal usul Harimau Campa sebagai salah satu tokoh dalam Tambo yang ikut serta dalam rombongan Sultan Maharaja Diraja, kesamaan sistem matrilineal, kesamaan sistem konfederasi nagari dan kaitan dengan pendiri Kerajaan Inderapura adalah sekian banyak jejak yang berkaitan dengan wilayah Minangkabau. Diluar Minangkabau, pengaruh Champa sangat terasa di wilayah Aceh yang konon merupakan akronim dari Arab-Champa-Eropa-Hindustan. Bahkan istilah Bungong Jeumpa yang populer di Aceh itu disinyalir berasal dari “Bunga Champa”.

Kerajaan Champa didirikan di Vietnam oleh orang-orang Cham yang secara etnis tidak mempunyai hubungan dengan orang-orang Vietnam. Ketika kerajaan Funan yang berada sebelah selatan Champa dipengaruhi oleh Cina, kerajaan Champa selama 1600 tahun juga mendapatkan pengaruh dari Cina.

Akibat dari hal itu, Champa harus mengimbangi kekuatan di antara dua negara tetangganya dalam hal jumlah penduduknya dan pola militer : Vietnam di utara dan Khmer (Kamboja) di selatan. Seperti Funan, kerajaan Champa menerapkan kekuatan perdagangan pelayaran laut yang berlaku hanya di wilayah yang kecil.

Pertengahan abad VIII merupakan waktu yang kritis bagi Champa, seperti Kamboja, Champa harus bertahan atas sejumlah serangan dari Jawa. Tetapi bahaya Jawa segera berlalu pada awal abad IX karena Champa sendiri juga melakukan serangan-serangan. Dibawah Hariwarman I, Champa menyerang propinsi-propinsi Cina sebelah utara dengan mendapat kemenangan. Champa juga melakukan penyerangan ke Kamboja dibawah pimpinan Jayawarman II, yaitu pendiri dinasti Angkor. Serangan tersebut dibalas oleh Indrawarman II.

Di bawah Indrawarman II (854-893), didirikan ibu kota Indrapura di propinsi Quang Nam. Ia memperbaiki hubungan baik dengan Cina. Pemerintahannya merupakan pemerintahan yang damai, terutama dengan dengan dirikannya bangunan-bangunan besar Budha, sebuah tempat suci, yang reruntuhannya terdapat di Dong-duong, di sebelah tenggara Mison. Ini adalah bukti pertama adanya Budha Mahayana di Champa.

Indrawarman II mendirikan enam dinasti dalam sejarah Champa. Raja-rajanya lebih aktif daripada yang sebelumnya dalam perhatiannya pada kehidupan di negeri itu. Mereka bukan saja mendirikan tempat-tempat suci baru, tetapi juga melindungi bangunan-bangunan keagamaan itu dari para perampok dan memperbaikinya kembali jika rusak.

Selama pemerintahan pengganti Indrawarman, Jayasimhawarman I, hubungan dengan Jawa menjadi erat dan bersahabat. Seorang keluarga permaisurinya berziarah ke Jawa dan kembali dengan memegang jabatan tertinggi dengan sejumlah raja dibawahnya. Hubungan ini menjelaskan pengaruh Jawa pada kesenian Champa.

Selama abad X terjadi banyak peristiwa penting di Champa. Tahun 907 dinasti T’ang jatuh di Cina dan orang Annam mengambil kesempatan itu untuk maju dan mendirikan kerajaan Dai-co-viet (Annam dan Tong-King) tahun 939. Awalnya perubahan ini hanya berpengaruh sedikit pada Champa akan tetapi kemudian timbul keributan antara Champa dengan kerajaan-kerajaan baru itu. Kemudian Champa dikuasai dan mulai mencari pengakuan dari Cina. Tahun 988 terjadi pembalasan oleh Champa dibawah raja Vijaya (Binh-dinh). Setelah masa damai yang singkat, ia mendapat jaminan pengakuan dari Cina dan memperbaiki ibukota Indrapura.

Abad XI merupakan masa kehancuran Champa. Champa kehilangan propisinya karena direbut oleh Annam. Mereka mengirim misi ke Cina berturut-turut dan tahun 1030 bersekutu dengan Suryawarman I dari Angkor. Tahun 1044 Annam melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Champa dan Champa mengalami kehancuran. Ibukota Vijaya direbut dan Raja Jayasimhawarman II dinaikan pangkatnya.

Dinasti VIII, didirikan oleh seorang pemimpin perang yang bergelar Parameswaraman I dan mulai menghidupkan kembali kerajaannya. Ia menekan pemberontakan di propinsi bagian selatan dan berusaha mengembangkan hubungan baik dengan kedua Annam dan Cina dengan sering-sering mengirim misi.

Seorang pangeran bernama Thang mendirikan dinasti IX. Beliau mengambil gelar Hariwarman IV dan segera memperlihatkan kekuasaannya dengan memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh penyerangan dan membangkitkan kesejahteraan negerinya. Kebangkitan Champa sangat cepat, setelah berhasil mengusir Annam dari Champa, selanjutnya menghancurkan serangan Khmer dan membalasnya dengan mengirim pasukan penyerang memasuki Kamboja.

Politik Hariwarman IV memelihara hubungan yang lebih baik dengan Annam. Sejak itu dengan sedikit keraguan kemudian ia bersekutu dengan Cina dan merencanakan penyerangan terhadap Annam. Ketika gagal, ia bertanggungjawab melindungi dari kemarahan orang Annam dengan mengirimkan tawaran perdamaian yaitu dengan memberi upeti kepada Annam secara teratur.

Khmer juga mulai menyerang Champa, bagian utara Champa telah berada dibawah kekuasaan Khmer. Tetapi di bagian selatan Panduranga, seorang raja baru, Jaya Hariwarman I, bangkit tahun 1147. Kemudian setelah mendesak keluar pasukan Khmer, ia terus menyerang dan mengembalikan Wijaya dan menyatukan kembali kerajaan.

Kesulitan Jaya Hariwarman I belum teratasi, tahun 1155 Panduranga mulai memberontak. Tetapi ia dapat memperbaiki kembali kerusakan-kerusakan karena perang dengan menggunakan sebagian barang jarahannya untuk memperbaiki candi-candi dan membangun yang baru. Beliau juga mengirim utusan ke Cina dan menenangkan Annam dengan membayar upeti secara teratur.

Ketika Jaya Hariwarman I mangkat, ia digantikan oleh seorang avontutir yang cerdik bernama Jaya Indrawarman IV yang telah merebut tahta dari putera Jaya Hariwarman I. Kemauannya yang besar ialah membalas dendam dengan menyerang Kamboja yang telah menyerang Champa oleh Suryawarman. Akan tetapi penyerangan tersebut gagal. Setelah melakukan persiapan lama, Jayawarman VII, pendiri Angkor Thom, melancarkan serangan besar-besaran terhadap Champa. Sekali lagi Champa jatuh ke tangan Kamboja. Suryawarman memutuskan untuk bersekutu dengan Kamboja.

Kemudian Khmer menyerang Champa lagi, dan Champa dikuasai oleh Khmer selama 17 tahun. Karena beberapa alasan yang tidak disebut dalam catatan, pasukan Khmer meninggalkan negeri itu dan memberikan kendali pemerintahannya secara sukarela. Banyak yang berpendapat mengenai sebab pengunduran Khmer secara tiba-tiba tersebut. Kesimpulan Maspero oleh Coedes, adalah bahwa tekanan T’ai atas kerajaan besar Khmer telah sedemikian keras hingga Angkor dipaksa meninggalkan cita-citanya menjadikan Champa sebagai daerah taklukannya.

Kemengan-kemenangan Mongol di Cina juga dianggap sebagai penyebab berhentinya perang antara Annam dan Champa. Dalam hal Champa, masalahnya sampai pada puncaknya ketika tahun 1281, yaitu saat kesabaran Kublai Khan telah habis dan beliau mengirim marsekal “Sogatu” untuk mendesak pemerintahan Mongol di negeri itu.

Seorang raja baru, Jaya Simhawarman III didesak untuk bersekutu dengan Annam. Tahun 1301 ia menerima kunjungan dari Tran Naon-Ton, yang telah menyerahkan dengan senang hati tahtanya kepada puteranya Tran Anh Ton, dan pura-pura mencari kebajikan dengan berziarah keliling tempat suci di negeri-negeri tetangganya. Ia menjanjikan pada raja Champ salah seorang putrinya untuk dijadikan istri raja Cham.

Dalam pertalian perkawinan itu, ia terbujuk untuk menyerahkan dua buah propinsi Cham di utara Col des Nuages sebagai nilai tukar penyerahan seorang saudara perempuan Tra Anh-Ton. Kemudian ketika pemerintahannya digantikan oleh putranya Che-Chi, putranya harus menanggung perbuatan bodohnya itu. Tahun 1312, Annam menyerbu Champa, menurunkan Jaya Simbhawarman IV dari tahtanya dan menggantinya dengan adiknya. Cue Nang.

Champa sekarang menjadi propinsi Annam yang rajanya diangkat sebagai “pangeran pembayar pajak kelas dua”. Tetapi Che Nang tetap setia kepada Champa dan tidak mau menyerahkan pada kekuasaan Annam. Ia memberontak dan berusaha mengembalikan dua propinsi yang telah diserahkan oleh ayahnya.

Che Anan ialah pendiri dinasti XII dalam sejarah Cham yang berkuasa sampai tahun 1390. Ini merupakan pembuka bagi kebangkitan Cham dengan mengambil manfaat atas berdirinya dinasti Ming di Cina. Dengan mulai serangkaian serangan-serangan yang sukses di Annam. Negeri itu tetap dalam keadaan teror terus menerus sampai tahun 1390, raja Cham terbunuh dalam perang di laut. Kemudian Champa kehilangan propinsi Indrapura (Quang Nam). Tahun 1441, pemerintahan Jaya Simhawarman V berakhir.

Di tahun 1471, tentara Vietnam Dinasti Le menaklukan kerajaan Champa. Sekitar 60.000 orang tentara Champa terbunuh, termasuk Raja Champa dan keluarganya dan sekitar 60.000 orang lainnya diculik untuk dijadikan budak. Kerajaan Champa diperkecil wilayahnya, yang sekarang dikenal dengan nama Nha Trang. Pada tahun 1720 terjadi serangan baru dari tentara Vietnam yang mengancam kerajaan Champa. Seluruh bangsa Cham beremigrasi ke arah barat daya, ke wilayah utara danau Tonle Sap yang sekarang merupakan Kamboja.

Dengan kejatuhan Vijaya pada 1471 maka keluasan Negara Champa semakin mengecil dan ibu negara Champa berpindah untuk kesekian kalinya. Kali ini jauh ke selatan ke Panduranga. Mengikut sejarah, semenjak perlantikan Po Tri Tri sebagai raja untuk keseluruh Champa dan dengan perpindahan beliau ke Panduranga untuk menubuhkan kerajaan yang baru, maka bermulalah perkembangan Islam secara besar-besaran di Champa. Bahasa Sanskrit yang selama ini menjadi bahasa rasmi Champa juga tidak digunakan lagi.

Semenjak era inilah Champa bertukar corak. Tidak pasti sama ada Champa terus menerus diperintah oleh raja Islam sehingga kejatuhannya ke Vietnam, akan tetapi berdasarkan kepada keunikan sistem pentadbiran yang diamalkan di Champa di mana terdapat berbagai kerajaan dalam satu wilayah pada masa yang sama, maka berkemungkinan bahwa ada raja-raja Islam yang memerintah Champa pada zaman tiga abad setelah kejatuhan Vijaya.

Keunikan sistem pemerintahan Champa adalah karena Champa terdiri dari persekutuan berbagai kaum yang dikenal majemuk sebagai ‘Urang Champa’. Selain kaum Cham sendiri, penduduknya juga terdiri dari berbagai kaum etnik daripada rumpun lain yang juga merupakan rumpun bahasa Austronesia yaitu puak bukit (hill tribes) yang terdiri daripada kaum-kaum Chru, Edê, Hroy, Jörai, Rhade (Koho), dan Raglai dan termasuk juga dari rumpun bahasa Austroasiatic seperti kaum Dera atau montanagards yang terdiri dari kaum-kaum Ma, Sré dan Stieng.

Meskipun terdapat raja, yang memerintah Champa secara keseluruhannya, terdapat juga raja-raja kecil misalnya Raja Bao Dai, yang menjadi raja untuk kaum etnik yang tertentu. Ini mempunyai persamaan dengan kaum Batak dan Mandiling di Indonesia, misalnya, yang mempunyai raja-raja mereka sendiri, tetapi semata-mata sebagai raja adat. Dalam mengkaji sejarah Champa mungkin pengkaji sejarah tidak memahami kedudukan raja pada kaum masing-masing dan hal ini telah menimbulkan kekeliruan di sebabkan dalam satu zaman yang sama akan terdapat rujukan kepada dua atau tiga raja yang berlainan nama. Dalam tradisi pemerintahan Champa, hanya raja yang mempunyai kekuatan tentara dan kekuasaan politik negara sebagai ‘Raja kepada Raja-raja (‘Rajatiraja’) Champa’ (“King of Kings of Champa”). Berdasarkan kepada manuskrip-manuskrip yang terdapat berkemungkinan besar setelah kejatuhan Vijaya, kekuasaan ini pernah dipegang oleh raja yang beragama Islam.

Kerajaan Champa merupakan kerajaan maritim sehingga pandai dalam pelayaran. Pelabuhan utama Champa ialah Phan Rang dan Nha Trang. Pelabuhan tersebut merupakan pemasok utama pendapatan kerajaan ini. Karena Quang Nam menawarkan pelabuhan yang lebih baik daripada pelabuhan yang lain, dimana kapal pedagang dari India, Sumatra, Jawa, dan Cina bisa mendapatkan persediaan air bersih di pelabuhan ini.
Diposkan oleh RADAR JAMBI di 09:11:00 0 komentar
SEJARAH SUKU MINANG KABAU
.
Pemerintahan Tuanku Bosa di Nagari Talu

October 17, 2009 in Kerajaan, Ketatanegaraan, Nagari, Silsilah, Suku | 1 comment

Talu adalah sebuah Nagari, ibu kota dari Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat. Kecamatan Talamau terdiri dari 3 Kanagarian, setelah dikeluarkan dari Kabupaten Pasaman. Pemekaran Kabupaten Pasaman menjadi dua kabupaten memecah Kecamatan Talamau menjadi 2 Kecamatan yang terpisah. Kanagarian Cubadak dan Simpang Tonang digabung membentuk Kecamatan Duo Koto menjadi bagian Kabupaten Pasaman . Sedangkan kanagarian Talu, Sinuruik dan Kajai tetap sebagai kecamatan Talamau menjadi bagian dari Kabupaten Pasaman Barat. Pasca pemecahan Kabupaten, maka lokasi Kecamatan Talamau yang tadinya terletak di tengah-tengah Kabupaten Pasaman, sekarang terletak dipinggiran kedua kabupaten.

Menurut buku Tambo Minangkabau dan adatnya terbitan Balai Pustaka th 1956, Talu adalah salah satu tepatan dari Pagaruyung disamping tepatan- tepatan lainnya. Sebagaimana ditulis pada Bab I pucuak adat yang ada disebut dunsanak batali darah ka Pagaruyuang. Terbentuknya nagari Talu mengikuti proses nagari nan ampek :

1. Sri Maharajo dirajo dari Pagaruyung membuat taratak dipertemuan Batang Tolu dengan Batang Poman.
2. Taratak berkembang menjadi dusun atau kampung.
3. Dusun/kampung berkembang menjadi Koto disebut Koto Dalam.
4. Setelah memenuhi syarat baampek suku, bapandan pakuburan , babalai bamusajik, bakorong

bakampuang dan lain- lain berkembang menjadi nagari.

Menurut kata-kata adat :

“Manuruik warih nan bajawek sarato umanah nan ditarimo tantangan nagari Talu. Tatkalo nagari kadiunyi , buek sudah kato lah abih, ukua jo jangko lah salosai adaik lah olah jo ranjinyo, sawah lah sudah jo lantaknyo. Sawah balantak basupadan, ladang baagiah babintalak, padang babari balagundi, rimbo baagiah balinjuang, bukik dibari bakarakatau. Nagari dibari babatasan, ka ilia supadan Sungai Abuak dengan Daulaik Parik Batu, ka mudiak aia Panarahan dengan Tuanku Rajo Sontang, ka baraik babateh jo Kiawai ka timur babateh jo Sundata, ka ateh ka ambun jantan ka bawah ka kasiak bulan didorong dek gurindam kato adaik. Dari mulo Sri Maharaja Diraja mambuek taratak jadi kampuang,kampuang jadi koto sampai jadi nagari iyo balaku titiak dari ateh, lareh Koto Piliang Datuak Katumanggungan.”

Luhak ba pangulu, rantau barajo itu kato pepatah Minang. Pasaman adalah daerah rantau dimana terdapat banyak pucuak adat sebagai rajo, lareh Koto Piliang antara lain:

* Daulat Parik Batu di Pasaman
* Tuanku Bosa di Talu
* Rajo Bosa di Sundatar Lubuk Sikaping
* Tuanku Rajo Sontang di Cubadak
* Daulat Yang dipertuan di Kinali
* Yang Dipertuan Padang Nunang di Rao
* dan lain- lain

Negeri Talu barajo Tuanku Bosa pucuak adat sebagai rajo. Sistem Datuk Katumanggungan, Lareh Koto Piliang. Wilayah daulat Tuanku Bosa disebut Kabuntaran Tolu yang jauh lebih luas dari wilayah Nagari Talu saat ini. Wilayah Kabuntaran Talu adalah Read the rest of this entry »
Sejarah Nagari Koto Gadang

October 16, 2009 in Nagari, Suku | Leave a comment

Sejarah Nagari Kotogadang

Nagari Kotogadang merupakan salah satu dari 11 nagari yang terletak di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam. Asal usul Nagari Kotogadang menurut sejarahnya dimulai pada akhir abad ke-17, dimana ketika itu sekelompok kaum yang berasal dari Pariangan Padangpanjang mendaki dan menuruni bukit dan lembah, menyeberangi anak sungai, untuk mencari tanah yang elok untuk dipeladangi dan dijadikan sawah serta untuk tempat pemukiman.

Setelah lama berjalan, sampailah di sebuah bukit yang bernama Bukit Kepanasan. Disitulah mereka bermufakat akan membuat teratak, menaruko sawah, dan berladang yang kemudian berkembang menjadi dusun. Lama kelamaan, dikarenakan anak kemenakan bertambah banyak, tanah untuk bersawah dan berladang tidak lagi mencukupi untuk dikerjakan maka dibuatlah empat buah koto. Bercerailah kaum-kaum yang ada di bukit tersebut. Dimana 2 penghulu pergi ke Sianok, 12 penghulu dan 4 orang tua pergi ke Guguk, 6 penghulu pergi ke Tabeksarojo, dan 24 penghulu menetap di Bukit Kepanasan. Karena penghulu yang terbanyak tinggal di koto tersebut maka tempat itu dinamakan Kotogadang. Itulah nagari – nagari awal yang membentuk daerah IV Koto.

Kaum – kaum yang datang bersama ini kemudian membangun pemukiman dan bernagari dengan tidak melepaskan adat kebiasaan mereka. Dengan bergotong royong mereka membangun rumah-rumah gadang, sehingga sebelum tahun 1879 banyaklah rumah gadang yang bagus berikut dengan lumbungnya. Pada tahun 1879 dan 1880 terjadilah kebakaran besar sehingga memusnahkan perumahan-perumahan tersebut.

Penghidupan orang Kotogadang sebelum Alam Minangkabau berada dibawah pemerintah Hindia Belanda iyalah bersawah, berladang, berternak, bertukang kayu dan bertukang emas. Dimana pekerjaan bertukang emas anak negeri sangat terkenal di seluruh minangkabau. Dikarenakan perkembangnya penduduk sehingga hasil yang diperoleh dari persawahan tidaklah mencukupi lagi, mulailah orang Kotogadang pergi merantau ke negeri lain seperti Bengkulu, Medan dan lain-lain. Read the rest of this entry »
Perkembangan Suku/Klan di Minangkabau

October 15, 2009 in Diaspora, Nagari, Suku | Leave a comment

1. Suku Asal

Kata suku dari bahasa Sanskerta, artinya “kaki”, satu kaki berarti seperempat dari satu kesatuan. Pada mulanya negeri mempunyai empat suku, Nagari nan ampek suku. Nama-nama suku yang pertama ialah Bodi, Caniago, Koto, Piliang.

Kata-kata ini semua berasal dari sanskerta :

* Bodi dari bhodi (pohon yang dimuliakan orang Budha)
* Caniago dari caniaga (niaga = dagang) ·
* Koto dari katta (benteng)
* Piliang dari pili hiyang (para dewa) Bodi Caniago adalah kelompok kaum Budha dan saudagar-saudagar (orang-orang niaga) yang memandang manusia sama derajatnya.

Koto Piliang adalah kelompok orang-orang yang menganut agama Hindu dengan cara hidup menurut hirarki yang bertingkat-tingkat. Dalam tambo, kata-kata Bodi Caniago dan Koto Piliang ditafsirkan dengan : Budi Caniago = Budi dan tango, budi nan baharago, budi nan curigo Merupakan lambang ketinggian Dt. Perpatih nan Sabatang dalam menghadapi pemerintahan aristokrasi Dt. Katumanggungan. Koto Piliang = kata yang pilihan (selektif) dalam menjalankan pemerintahan Dt. Katumanggungan.

2. Pertambahan Suku

Suku yang empat itu lama-lama mengalami perubahan jumlah karena :

* Pemecahan sendiri, karena warga sudah sangat berkembang. Umpama : suku koto memecah sendiri dengan cara pembelahan menjadi dua atau tiga suku.
* Hilang sendiri karena kepunahan warganya, ada suku yang lenyap dalam satu nagari.
* Perpindahan, munculnya suku baru yang warganya pindah dari negeri lain.
* Tuntutan kesulitan sosial, hal ini timbul karena masalah perkawinan, yang melarang kawin sesuku (eksogami). Suatu suku yang berkembang membelah sukunya menjadi dua atau tiga.

Biasanya suku-suku yang baru tidak pula mencari nama baru. Nama yang lama ditambah saja dengan nama julukan. Jika suku bari itu terdiri dari beberapa ninik, jumlah ninik itu dipakai sebagai atribut suku yang baru itu. Koto Piliang memakai angka genap dan Bodi Caniago memakai angka ganjil. Umpama :

* Suku Melayu membelah menjadi : melayu ampek Niniak, Melayu Anam Niniak, Caniago Tigo Niniak, Caniago Limo Niniak (Bodi Chaniago)
* Kalau gabungan terdiri dari sejumlah kaum, namanya : Melayu Ampek Kaum (Koto Piliang), Melayu Tigo Kaum (Bodi Caniago)
* Apabila gabungan terdiri dari sejumlah korong namanya : Melayu Duo Korong (Koto Piliang), Caniago Tigo Korong (Bodi Caniago) Read the rest of this entry »

Sungai Tarab dan Kerajaan Bunga Setangkai

October 15, 2009 in Nagari, Suku, Tambo | Leave a comment

Seiring dengan perkembangan waktu, masyarakat di Nagari Pariangan bertambah ramai juga, sedang nagari itu tidak begitu luas sehingga sudah penuh sesak oleh orang banyak. Maka bermusyawarahlah ninik Sri Maharaja Diraja dengan segala orang besarnya untuk memindahkan sebagian orang kedaerah baru.
Setelah bulat mupakat, mendakilah ninik Sri Maharaja Diraja ke puncak gunung merapi hendak melihat dimana tanah yang baik dan subur akan tempat memindahkan orang orang itu. Setibanya beliau dipuncak gunung merapi, memandanglah beliau kesegala arah. Pandang jauh dilayangkan pandangan dekat di tukikkan.
Kelihatan oleh beliau setumpuk tanah tanah gosong yang ditumbuhi rimba di baruh gunung kearah selatan yang kelihatannya tanahnya berpasir. Gosong gosong itu adalah puncak puncak bukit yang tersembur dari permukaan laut waktu itu.
Setelah itu beliau kembali turun, dan bersama sama dengan Cateri Bilang Pandai beliau pergi melihat tanah itudengan berlayar. Pelayaran beliau itu hanya menepi gunung merapi saja dan akhirnya beliau sampai ditepi pantai, lalu berlabuh dan langsung memeriksa tanah tadi.
Didapati oleh beliau tanah itu lebih luas dari Pariangan Padang Panjang dan nampaknya lebih baik dan lebuh subur.
Disebelah mudik tanah itu ada pula sebidang padang pasi yang amat luas yang sangat baik untuk tempat orang bermain dan bergembira.
Setelah ada keyakinan bagi ninik Sri Maharaja Diraja dan Cateri Bilang Pandai, lalu keduanya kembali ke Pariangan Padang Panjang untuk menjeput orang orang yang akan mendiami tempat tersebut.
Beliau membawa tujuh karib bai’id beliau laki laki dan perempuan, begitupun Cateri bilang pandai membawa pula enam belas orang, yaitu delapan pasang suami istri.
Setelah mereka tiba ditanah tadi, mereka mulai membuka ladang, berladang mencencang melateh, membuat teratak ditempat itu. Lama kelamaan teratak menjadi sebuah dusun bernama dusun Gantang Tolan dan dusun Binuang Sati.
Kemudian dusun itu bertambah lama bertambah ramai pula. Maka dibuat orang pula dipinggir dusun itu sebuah koto tempat berkampung, berumah tangga. Dari koto itulah orang orang berulang ulang keladangnya yang didusun tadi.
Semakin lama didalam koto tadi orang semakin bertambah ramai juga, lalu koto itupun dijadikan nagari, diberi nama nagari Bunga Setangkai. Kenapa bunga setangkai, sebab sewaktu ninik Sri Maharaja Diraja sampai disitu beliau mendapatkan setangkai bunga yang sangat harum baunya, dan dibawah bunga itu ada pula sebuah batu luas dan datar. Panjangnya tujuh tapak ninik Sri Maharaja Diraja, batu itu diberi nama oleh beliau “Batu Tujuh Tapak” Sampai sekarang batu itu masih ada didalam nagari Bunga Setangkai.
Adapun padang pasir yang di mudik nagari Bunga Setangkai, lama-kelamaan ditumbuhi oleh kayu-kayuan, sehingga kemudian menjadi rimba yang berkampung kampung. Pada akhirnya daerah itu menjadi koto, lalu menjadi nangari yang diberi nama Pasia Laweh, takluk kepada nagari Bunga Setangkai. Read the rest of this entry »
Koto Piliang dan Bodi Chaniago

October 15, 2009 in Suku, Tarikh | Tags: Bodi, Chaniago, Koto, Piliang | Leave a comment

Kata suku dari bahasa Sansekerta, artinya “kaki”, satu kaki berarti seperempat dari satu kesatuan. Pada mulanya negeri mempunyai empat suku, Nagari nan ampek suku. Nama-nama suku yang pertama ialah Bodi, Caniago, Koto, Piliang.

Kata-kata ini semua berasal dari sanskerta :

* Bodi dari bhodi (pohon yang dimuliakan orang Budha)
* Caniago dari caniaga (niaga = dagang) ·
* Koto dari katta (benteng)
* Piliang dari pili hiyang (para dewa) Bodi Caniago adalah kelompok kaum Budha dan saudagar-saudagar (orang-orang niaga) yang memandang manusia sama derajatnya.

Bodi Caniago adalah kelompok kaum Budha dan saudagar-saudagar (orang-orang niaga) yang memandang manusia sama derajatnya. Daerah asal diperkirakan dari Tiongkok, Campa dan Siam

Koto Piliang adalah kelompok orang-orang yang menganut agama Hindu dengan cara hidup menurut hirarki yang bertingkat-tingkat. Daerah asal diperkirakan dari India Selatan

Dalam tambo, kata-kata Bodi Caniago dan Koto Piliang ditafsirkan dengan : Budi Caniago = Budi dan tango, budi nan baharago, budi nan curigo Merupakan lambang ketinggian Dt. Perpatih nan Sabatang dalam menghadapi pemerintahan aristokrasi Dt. Katumanggungan.

Koto Piliang = kata yang pilihan (selektif) dalam menjalankan pemerintahan Dt. Katumanggungan.
Asal Usul Suku Jambak di Tanjuang Alam

October 15, 2009 in Suku, Tarikh | Tags: Minangkabau, Suku Jambak | Leave a comment

Etnis Minangkabau dikenal memiliki dua kelompok suku yang besar yaitu Bodi Chaniago dan Koto Piliang. Masing-masing suku besar tersebut menjalankan adatnya sendiri-sendiri sesuai dengan tradisi yang turun terumurun seperti pepatah adat mengatakan:

Dari berek turun ka samak

Dari samak turun ka padi

Dari nenek turun ka mamak

Dari mamak turun ka kami

Sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat, suku besar tersebut kemudian terbagi lagi menjadi beberapa anak suku. uku Jambak merupakan salah satu anak suku yang mendiami Jorong Tanjung Alam disamping suku lainnya seperti: Koto, Pili, Melayu, Tanjung, Selayan di Tanjung Bungo. Saat ini di Tanjung Alam terdapat 2 kawasan yang didiami oleh penduduk suku Jambak karena adanya migrasi dari anggota suku Jambak dari jorong lain pada masa lalu yang kemudian tinggal di daerah Munggu.

Menurut wawancara mengenai silsilah Suku Jambak Tanjung Alam dengan Haji Khalidi Ali salah seorang ninik mamak Suku Jambak yang juga menjadi Angku Qadhi di Tanjung Alam tanggal 13 Juni 1992 menyatakan bahwa asal usul penduduk suku Tanjung Alam adalah berasal dari Biaro dan juga memiliki “belahan” di Koto Gadang. Pengertian belahan di sini yaitu suatu kelompok yang pada mulanya bersatu tapi kemudian sama-sama berpindah ke daerah yang berlainan untuk membuka daerah baru. Ninik moyang dari penduduk suku Jambak, Tanjung Alam yang masih dapat ditelusuri adalah bermula dari seorang datuk yang bernama Datuk Rajobasa. Dari silsilah Datuk Rajobasa inilah yang kemudian berkembang menjadi keturunan penduduk suku Jambak. Sesuai dengan budaya masyarakat yang masih belum terbiasa dengan tulis-baca sehingga tidak dapat ditemui bukti tertulis dan otentik kapan Datuk Rajobasa mulai mendiami Tanjung Alam. Read the rest of this entry »
Sejarah Turunan Suku Jambak di Minangkabau

October 15, 2009 in Suku, Tarikh | Tags: Minangkabau, Suku Jambak | Leave a comment

Salah satu kelemahan dalam menelusuri jejak sejarah di Minangkabau adalah tentang sumber yang tidak otentik atau sumber yang kebenarannya secara ilmiah diragukan, akan tetapi dalam hal lain komunitas Minangkabau sendiri merupakan kumpulan masyarakat yang sangat unik dalam memelihara sejarah mereka, walaupun sejarah tentang hikayat apapun dinegeri ini tidak pernah ditulis secara sistematis dalam satu literatur tertentu akan tetapi pendahulu atau nenek moyang orang Minang mewarisi cerita-cerita yang berkembang dimasyarakat melalui kaba dari mulut kemulut. Kaba ini sangat popular ditengah masyarakat Minang dengan Tambo Alam Minangkabau.

Tidak jauh berbeda dengan sejarah suku-suku yang ada di Minangkabau termasuk sejarah tentang eksistensi suku Jambak yang berkembang disemua pelosok yang ada negeri ini, Merupakan suatu hal yang terkait dengan sejarah perjalanan suku tersebut tidak dapat dipetik dari satu sumber tertentu yang otentitasnya dapat dipercaya, akan tetapi dari perjalanan saya kebeberapa wilayah di Sumaterabarat sampai ke Riau daratan dan Jambi ada beberapa kesimpulan yang dapat dipetik dari perjalanan panjang tersebut ditambah dengan beberapa referensi yang tertuang dari karya ilmiah tentang Minangkabau dan artikel-artikel media massa.

Pada awalnya terbentuknya suku di Minangkabau diyakini banyak penduduk Minang bersumber dari dua suku yaitu Koto Piliang dan Bodi Caniago, karena pertambahan jumlah penduduk dan banyaknya berdiri kampuang-kampuang baru dinegeri ini ditambah dengan pengembangan budaya yang muncul dari masing-masing nagari waktu itu, mulailah kelompok suku tersebut terpecah kepada beberapa bahagian menurut garis keturunan ibu. Diantaranya adalah Koto Piliang berkembang menjadi suku Koto dan suku Piliang, begitu juga dengan Bodi Caniago berkembang jadi suku Bodi dan suku Caniago dan suku-suku tersebut terus berkembang sampai menjadi puluhan bahkan ratusan suku.

Perkembang wilayah di Minangkabau dari taratak yang akhirnya menjelma jadi koto, maka seiring dengan itu berkembang pulalah suku-suku yang ada, dimana asal muasalnya adalah dua suku besartersebut.

Berbeda dengan keberadaan suku Jambak di Minangkabau bahwa kehadiran suku ini tidak berakar pada dua suku yang ada sebelumnya akan tetapi suku Jambak merupakan suku pengembara yang datang dari tanah Tiongkok. Kehadiran suku dari tanah seberang tersebut sampai menyebar ke wilayah daratan Minangkabau.
Read the rest of this entry »
Mukaddimah

October 15, 2009 in Ekspedisi, Interpretasi, Kaba, Kronik, Literatur, Penelitian, Prasasti, Silek, Suku, Tambo, Tarikh | Leave a comment

Paco Paco adalah sebuah proyek rintisan untuk penulisan sejarah Minangkabau yang komprehensif. Ide utama dari proyek ini adalah dengan menginventarisi berbagai informasi dari berbagai sumber seputar Tarikh dan Sejarah Minangkabau.
Beberapa objek informasi adalah Tambo, Kaba, Prasasti, Kronik Luar, Penelitian, Literatur Asing, Hasil Ekspedisi dan Ekskavasi, Naskah Kuno, Silsilah Suku dan Nagari dan pelbagai sumber lain.
Tidak dipungkiri bahwa sinisme akan menghampiri proyek, terlebih lagi karena dimasukkannya Tambo dan Kaba sebagai salah satu objek penelitian.
Namun tidak usah khawatir, saya berusaha untuk tidak mengulangi kesalahan yang dulu-dulu yaitu : terlalu cepat mengambil kesimpulan dengan berusaha sekeras mungkin mencocok cocokkan informasi yang belum seberapa dan menggenapkan bagian yang bolong dengan hipotesa yang terburu-buru.

Contoh kegagalan metode terdahulu adalah dihasilkannya beragam ragam kesimpulan, misal :

1. Sosok Bundo Kanduang dinisbatkan pada tokoh Dara Jingga (dari Malayu Dharmasraya), tokoh Kambang Daro Maharani, tokoh keturunan Puti Bidadarim, dll (tidak jelas mana yang benar)
2. Sosok Dang Tuanku dinisbatkan pada Adityawarman dan pada Sutan Rumandung (tidak jelas mana yang benar)
3. Sosok Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan bisa muncul dalam rentang waktu yang sangat panjang (dari periode pendaratan kapal di puncak Gunung Marapi sampai periode awal Kerajaan Pagaruyung (1347) sesuai dengang pencocok cocokan dengan tokoh Dewa Tuhan Perpatih dalam Prasasti Padang Candi.

Kita sadar bahwa Minangkabau memang minim informasi tertulis, namun bukan berarti kita harus menyerah. Kita bisa belajar dari Mekanisme Inventarisir Hadist yang dilakukan oleh para Imam Hadist dengan cara mengumpulkan sumber lisan sebanyak banyaknya dan kemudian saling mengcrosscheck satu sama lain, mengklasifikasikan perbedaan dan persamaan.
Sebagai contoh untuk Tambo kita memiliki puluhan versi, beberapa diantaranya adalah :

* - Tambo Pariangan
* - Tambo Alam Pagaruyung
* - Tambo Alam Surambi Sungai Pagu
* - Tambo Pasaman
* - Tambo Mande Rubiah
* - Tambo Kurai V Jorong

Tantangannya adalah bagaimana cara mengumpulkan tambo-tambo ini dan mulai menghitung tarikh-tarikh yang ada didalamnya. Saya percaya di pelosok-pelosok nagari sana masih ada informasi yang tersimpan, mungkin lebih banyak daripada naskah-naskah yang tersimpan di Universitas Leiden Belanda.
Singkat kata saya luncurkan situs Paco Paco ini yang untuk sementara isinya berupa rangkuman dari sumber-sumber lain (mohon maaf kepada para pemilik artikel yang saya copas, karena niat saya hanya untuk mengkliping saja)
Diposkan oleh RADAR JAMBI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar