Laman

Jumat, 25 Juni 2010

AKAR BUDAYA KERAJAAN MINANG TEMPO DULU

07:19:00 0 komentar
AKAR BUDAYA KERAJAAN MINANG TEMPO DULU
Pemerintahan Raja Raja di Kesultanan Inderapura

October 18, 2009 in Kerajaan, Ketatanegaraan, Legenda, Nagari, Tarikh | 1 comment

Sekilas Kerajaan Inderapura

Kesultanan Inderapura (Kerajaan Islam Malayu, 1100 – 1911) terletak di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat sekarang. Pernah jaya abad XVII – XVIII, karena posisinya sebagai kota pantai, pusat perdagangan dengan komiditi unggulan emas dan lada, berbasis pelabuhan Samuderapura dengan armada kuat, ramai dikunjungi kapal dagang dan jadi rebutan pengaruh kekuatan asing (Yulizal Yunus, 2002).
Kesultanan Inderapura berdiri di atas keruntuhan Kerajaan lama Inderapura yakni periode Kerajaan Teluk Air Pura abad IX sm – XII m (80 sm – 1100 m). Kerajaan Inderapura lama didirikan anak cucu leluhur Iskandar Zulkarnaini (356-324 sm, putra Pilipeaus raja ke-2 Masedonia, 382-336 sm). Tidak disebut nama pendirinya kecuali pimpinan adat. Ada disebut tahun 134 sm lahir Indo Juita (keturunan Iskandar Zulkarnaini) kemudian tahun 110 sm menikah dengan Inderajati moyang Inderapura (asal Parsi – Turki) dan melahirkan keturunan raja-raja.
Pada episode berikutnya Zatullahsyah (anak cucu Iskandar Zulkarnaini) datang ke Air Pura dan mendirikan Kerajaan Air Pura, Teluk Air Pura (awal abad ke-12). Wilayahnya adalah Muara Campa, Air Puding dan Air Pura dekat Muara Air Sirah dan Sungai Bantaian Inderapura sekarang. Basis perekonomian rakyat tani (ladang) dan nelayan serta mencari hasil hutan.

Masa pemerintahan Zatullahsyah datang 3 orang anak saudara kandungnya (Hidayatullahsyah) yakni Sri Sultan Maharaja Alif, Sri Sultan Maharaja Depang dan Sri Sultan Maharaja Diraja, dari Rum lewat Bukit Siguntang-guntang. Tidak lama di Air Pura, Sri Sultan Maharaja Diraja mendapat perintah Zatullahsyah, pergi ke Gunung Merapi, didampingi temannya Cati Bilang Pandai dan dibantu putra sepupunya Sultan Muhammadsyah (putra Zatullahsyah – Dewi Gando Layu). Di sana ia mendirikan kerajaan di Parhyangan (Pariangan) yang disebut sebagai nagari asal seperti juga Air Pura. Sri Sultan Maharaja Diraja kawin dengan Puti Jamilan dan melahirkan Dt. Ketumanggungan, setelah Sri Sultan wafat Puti Jamilan dikawini temannya Cati Bilang Pandai dan melahirkan Dt. Parpatih nan Sabatang.

Empat Episode Sejarah Kerajaan

Di Kerajaan Air Pura kepemimpinan berlanjut dalam empat episode sejarah. Dua episode I (Kerajaan Air Pura – Indrajati) dan dua episode II (Kesultanan Inderapura – Era Regen). Dua episode I Kerajaan Air Pura dilanjutkan kepemimpinan Kerajaan Indrajati (Indra di Laut) abad XII – XVI (1100 – 1500). Berawal dari datangnya Indrayana disebut putra mahkota Kerajaan Sriwijaya yang terusir karena masuk Islam, menetap di Pasir Ganting dan mendirikan Kerajaan Indrajati. Ia sendiri raja ke-1 dan raja ke-2 anaknya bernama Indrasyah Sultan Galomatsyah. Dalam perjalanannya kerajaan ini pernah diincer ekspedisi Pamalayu I (1247) di samping Darmashraya, Siguntur yang kemudian menjadi Kerajaan Pagaruyung (1343). Read the rest of this entry »
Jejak Dt. Perpatih Nan Sabatang di Nagari Selayo

October 18, 2009 in Hasil Budaya, Kerajaan, Nagari | Leave a comment

Dalam bertani, masyarakat Nagari Selayo sejak dahulu terkenal maju selangkah. Pengairan sawah di daerah ini sudah teratur rapi sejak nagari itu mulai dihuni. Tali Bandar mengairi petak-petak sawah yang membentang luas. Sehingga, masyarakat Selayo sejak dahulu punya pusaka yang memadai, dikenal sebagai orang kaya.

Kondisi ini pulalah yang mengundang, banyak kaum pendatang menumpang hidup di nagari ini. Pendatang ini kebanyakan terbang menumpu-hinggap mencekam di tanah para penghulu, penguasa nagari masa lampau dan berlanjut hingga kini.

Gaya hidup teratur yang berkesan mewah, tidak hanya dibuktikan oleh penampilan masyarakat Selayo dalam mengadakan pesta perhelatan. Tetapi juga terlihat dari susunan perumahan di Nagari Selayo, yang sejak dahulu kala sudah tertata rapi serupa Perumnas.

“Sampai kini, kita akan tetap melihat bentuk pemilikan tanah di Selayo bagai kapling-kapling Perumnas. Semua ini peninggalan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, ketika beliau sering berkunjung ke Selayo,” kata Muzni Hamzah mengutip cerita masa silam saat dijumpai beberapa waktu lampau.

Dalam catatan sejarah, Datuak Parpatiah Nan Sabatang, hidup pada waktu pemerintahan Adityawarman, pada awal abab ke-14 (1315 M). Dalam salah satu versi sejarah disebutkan keberadaan Adityawarman menjadi raja di Kerajaan Pagaruyung, tercatat Datuk Parpatiah Nan Sabatang selaku patih kerajaan. Read the rest of this entry »
Rahasia Suku Malayu di Pariangan

October 18, 2009 in Diaspora, Hipotesa, Interpretasi, Kerajaan, Kronik, Literatur, Penelitian, Tarikh | 10 comments

Distilasi Fakta

Tambo Alam Minangkabau memang sarat cerita-cerita yang kadang-kadang tidak logis, namun itu tidak menjadi halangan bagi penulis untuk menjadikannya sumber. Saya ingat konsep distilasi (peyaringan) dalam Ilmu Kimia Dasar, dimana pada hakikatnya kita bisa memisahkan unsur dari senyawa, serumit apapun senyawa itu. Sebelumnya saya sudah mendengar ungkapan kritis yang juga sinis bahwa Tambo itu isinya 98% mitos dan sisa yang 2% adalah fakta.
Dengan berbagai alasan dan dalih kenapa jumlah fakta cuma 2%, diantara dalih yang populer adalah karena disuruakkan untuk suatu tujuan. Soal Suruak Manyuruak ini juga yang terjadi pada kisah Mande Rubiah di Pesisir Selatan yang tidak ingin keberadaanya diketahui oleh Penguasa Kerajaan Pagaruyung sepeninggalnya.

Itu pula yang terjadi dalam pelajaran beberapa aliran Silek Minang, disuruakkan beberapa bagian dengan alasan tidak cocok dengan ajaran agama, padahal itu lebih disebabkan karena beberapa ajaran Silek itu mengajarkan konsep Al Huluj (Wahdatul Wujud) yang sesat dan menyesatkan.

Kembali Ke Cerita Awal

Kita tinggalkan sementara soal cerita pendaratan perahu di puncak Gunung Marapi, Kita simpan sementara latar belakang tokoh-tokoh (Cati Bilang Pandai orang India Lembah Indus, Sultan Maharajo Dirajo orang India juga (lihat gelar Maharaj nya), Anjing Mualim orang Persia, Harimau Campo orang Campa (Kamboja+Vietnam), Kambing Hutan orang Cambay (Malabar, India) dan Kucing Siam orang Thailand). Dari sini sudah jelas kalau mereka para imigran.
Sekarang kita fokuskan bahasan pada Nagari Pariangan. Apa yang akan kita cermati? Tentu saja penduduk awalnya, Siapa mereka itu?

Diatas telah kita sebutkan nama-nama tokoh yang ada dalam Tambo (Sultan Maharajo Dirajo dan pengiring-pengiringnya). Cukupkah? Tidak.

Kita masih ada satu informasi lagi yaitu Tujuh Suku Awal yang Menghuni Nagari Pariangan (pada beberapa versi ada 8 suku). Suku apakah yang tujuh itu : Koto, Piliang, Pisang, Malayu, Dalimo Panjang, Dalimo Singkek, Piliang Laweh dan Sikumbang

Ada apa dengan suku-suku itu?

Eureka, suku yang menjadi sorotan dalam cerita ini adalah Suku Malayu. Suku Malayu adalah salah satu suku utama Minangkabau yang berasal dari kerajaan Malayu Tua. Kerajaan Malayu Tua sudah ada pada abad ke 7 (tahun 600-an). Kerajaan Malayu didirikan oleh Sri Jayanagara yang turun dari gunung Marapi ke Minanga Tamwan sekitar tahun 603. Read the rest of this entry »
Stempel Datuak Katumanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang

October 18, 2009 in Hasil Budaya, Kerajaan, Ketatanegaraan, Literatur, Penelitian | Leave a comment

Umumnya orang Minangkabau – bukan Minang kerbau seperti acap kali ditulis dalam koran Soenting Melajoe pimpinan Mahyuddin Dt. St. Maharadja – mengenal nama Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Mereka termasuk founding father orang Minang. Nama keduanya disebut-sebut dalam berbagai wacana kebudayaan Minangkabau – dalam tambo, dalam cerita rakyat, dalam pidato adat dan pasambahan, dalam kaba, dan mungkin juga dalam mimpi para datuak kita. Konon jejaknya juga dapat dilacak dalam material culture Minangkbau: ada Batu Batikam di Batusangkar, sebagai ‘bukti arkeologis’ percanggahan ideologis yang amat prinsipil antara kedua mamak muyang orang Minang itu: yang satu hendak menegakkan sistem otokratis (ketek babingkah tanah, gadang balingkuang aua [Laras Koto Piliang]), yang lain hendak menerapkan sistem demokratis (titiak dari ateh, bosek dari bumi [Laras Bodi Caniago]). Kata pakar pernaskahan Minangkabau dari Universitas Andalas, Dra. Zuriati M.Hum, kepada saya, tongkat kedua datuak kita itu ditemukan di Solok. Tongkat itu sudah berdaun. Ondeh! Sedangkan almarhum Anas Navis dalam salah satu artikelnya di www.ranah-minang.com menulis bahwa kuburan kedua datuak kita itu yang juga ditemukan di Solok. Wallahualam! Ini kaba orang yang saya kaba(r)kan, dusta orang saya tak serta.

Lepas dari bukti-bukti setengah mengawang di atas tentang Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, dalam tulisan ini saya membicarakan ‘bukti’ yang lain yang jarang dibicarakan orang Minang. Bukti itu adalah stempel kedua datuak-muyang kita itu.

Stempel? Jadi, kedua datuak kita itu pandai menulis? Pandai membaca? Kalau mamak muyangnya tidak pandai tulis-baca, tentu anak cucunya pandai maota saja. Cerita yang kita dengar selama ini mengatakan bahwa Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang memang pintar: pandai mambaco dalam raik, pandai manyurek manilantang.

fotostempel

Stempel Datuak Katumanggungan (a) dan Stempel Datuak Parpatiah Nan Sabatang (b).

(Sumber: Leiden University Library Cod.Or. 1745, hal. ii & iii) Read the rest of this entry »
Penemu Naskah Undang-Undang Zaman Adityawarman

October 18, 2009 in Hasil Budaya, Interpretasi, Kerajaan, Ketatanegaraan, Literatur, Penelitian, Prasasti, Tarikh | 1 comment
ImageULI Kozok, doktor filologi asal Jerman, telah mengejutkan dunia penelitian bahasa dan sejarah kuno Indonesia. Lewat temuan sebuah naskah Malayu kuno di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi yang ia lihat pertama kali di tangan penduduk pada 2002, ia membantah sejumlah pendapat yang telah menjadi pengetahuan umum selama ini. Pendapat pertama, selama ini orang beranggapan naskah Malayu hanya ada setelah era Islam dan tidak ada tradisi naskah Malayu pra-Islam. Artinya, dunia tulis-baca orang Malayu diidentikkan dengan masuknya agama Islam di nusantara yang dimulai pada abad ke-14.

“Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah” yang ditemukan Kozok merupakan naskah pertama yang menggunakan aksara Pasca-Palawa dan memiliki kata-kata tanpa ada satupun serapan ‘berbau’ Islam.

Berdasar uji radio karbon di Wellington, Inggris naskah ini diperkirakan dibuat pada zaman Kerajaan Adityawarman di Suruaso (Tanah Datar, Sumatera Barat) antara 1345 hingga 1377. Naskah ini dibuat di Kerajaan Dharmasraya yang waktu itu berada di bawah Kerajaan Malayu yang berpusat di Suruaso. Karena itu Kozok mengumumkan naskah tersebut sebagai naskah Malayu tertua di dunia yang pernah ditemukan.

“Ada pakar sastra dan aksara menganggap tidak ada tradisi naskah Malayu sebelum kedatangan Islam, ada yang beranggapan Islam yang membawa tradisi itu ke Indonesia, dengan ditemukannya naskah ini teori itu runtuh,” kata Kozok yang bertemu Padangkini.com di Siguntur, Kabupaten Dharmasraya pengujung Desember 2007.

Aksara Sumatera Kuno

Pendapat kedua, seperti halnya Jawa, Sumatera sebenarnya juga memiliki aksara sendiri yang merupakan turunan dari aksara Palawa dari India Selatan atau aksara Pasca-Palawa. Selama ini aksara di sejumlah prasasti di Sumatera, seperti sejumlah prasasti-prasasti Adityawarman, disebut para ahli sebagai aksara Jawa-Kuno.


Padahal, menurut Kozok, aksara itu berbeda. Seperti halnya di Jawa, di Sumatera juga berkembang aksara Pasca-Palawa dengan modifikasi sendiri dan berbeda dengan di jawa yang juga bisa disebut Aksara Sumatera-Kuno.


Prasasti-prasasti peninggalan Adityawarman di Sumatera Barat, menurutnya, sebenarnya aksara Pasca-Palawa Sumatera-Kuno, termasuk yang digunakan pada Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah dengan perbedaan satu-dua huruf. Namun selama ini prasasti-prasasti itu disebut ahli yang umumnya berasal dari Jawa sebagai aksara Jawa-Kuno.

“Mereka punya persepsi bahwa Sumatera itu masih primitif dan orang Jawa yang membawa peradaban, begitulah gambaran secara kasar yang ada dibenak mereka, karena mereka peneliti Jawa, sehingga ketika mereka datang ke Sumatera dan melihat aksaranya, menganggap aksara Sumatera pasti berasal dari Jawa, nah sekarang kita tahu bahwa kemungkinan aksara itu duluan ada di Sumatera daripada di Jawa,” katanya.


Pendapat ketiga, kerajaan Malayu tua pada zaman Adityawarman telah memiliki undang-undang tertulis yang detail. Undang-undang ini dikirimkan kepada raja-raja di bawahnya. Selama ini belum pernah ada hasil penelitian yang menyebutkan Kerajaan Malayu Kuno memiliki undang-undang tertulis.


Pendapat keempat, dengan ditemukannya “Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah” selangkah lagi terkuak informasi mengenai Kerajaan Dharmasraya, Adityawarman, dan Kerajaan Malayu yang beribukota di Suruaso (Tanah Datar). Naskah tersebut menyebutkan Read the rest of this entry »
Riwayat Silungkang, Pagaruyung dan Gajah Tongga Koto Piliang

October 17, 2009 in Kerajaan, Nagari, Tambo, Tarikh | Leave a comment

Uraian ini diterima dari Syamsuddin Datuk Simarajo, ex. Wali Negari Pagaruyung, Ketua K.A.N. Pagaruyung, Ketua L.K.A.A.M. Kecamatan, Kepala Bidang Negari – Negari di L.K.A.A.M. Tanah Datar dan pimpinan Istano (Istana) Pagaruyung pada tanggal 6 / 11 dan 24 / 12 1984.

Sebelum pemerintahan Minangkabau berkedudukan di Pagaruyung, pusat pemerintahan bertempat di Bungo Setangkai, yang mengendalikan pemerintahan, disamping rajo adalah Langgam Nan 7, waktu itu Basa 4 Balai belumlah ada. Salah satu dari Langgam yang 7 adalah Gajah Tongga Koto Piliang. Yang memegang jabatan itu adalah Datuk Pahlawan Gagah dari Silungkang dan Malintang Lobieh Kasatian dari Padang Sibusuk. Jabatan/pangkat ini adalah jabatan/pangkat untuk Negari, bukan suku. Negarilah yang menentukan siapa yang akan memegang jabatan/pangkat itu.

Gajah Tongga Koto Piliang ini adalah :

* Orang Gadang bermandat penuh
* Asisten Pribadi Raja
* Dewan pertimbangan
* Penasehat (diminta atau tidak diminta harus memberikan pendapat pada Rajo dan Langgam Nan Tujuah)

2.
Riwayat Negeri Silungkang

Negeri Silungkang ini didiami semenjak abad keenam sebelum masehi yang berarti sampai sekarang telah berumur lebih kurang 2500 tahun. Waktu itu penduduk bermukim belumlah ditempat yang sekarang tetapi adalah diatas bukit-bukit sekitarnya. Nama Silungkang berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya “lowongan batu yang tinggi”. Dari atas bukit-bukit yang tinggi inilah orang meninjau jarak dan bersebarlah sebahagiaannya dan terjadi/berdiri pulalah negeri-negeri disekitarnya. Lunto, Kubang dan Padang Sibusuk waktu itu masih satu dengan Silungkang.

3.
Menurut keterangan yang diterima dari Monti Rukun Padang Sibusuk, niniek orang Silungkang dan Padang Sibusuk turun langsung dari Pariangan Padang Panjang. Tempat yang mula-mula didiami adalah Tak Boncah. Dari Tak Boncah ini dibagilah badan. Serombongan pergi ke Silungkang dan serombongan lagi turun ke Padang Aka Bulu yang kemudian bertukar nama jadi Padang Bulu Kasok dan semenjak pertempuran dengan pasukan Aditiawarman ditukar namanya menjadi Padang Sibusuk.

Adapun rombongan yang turun ke Silungkang dipimpin oleh Monti-monti sedangkan yang turun ke Padang Aka Bulu (Padang Sibusuk) dipimpin oleh Penghulu-Penghulu. Di Silungkang Monti-monti inilah yang dijadikan Penghulu. Waktu hal ini kami tanyakan, dijawab oleh beliau (Sjamsuddin Datuk Simarajo) bahwa keterangan itu tidaklah benar karena :

1. Alam takambang membuktikan yang Silungkang lebih dahulu adanya dari Padang Sibusuk.
2. Silungkang telah didiami semenjak abad keenam sebelum Masehi. Waktu itu Kerajaan Minangkabau belum punya susunan seperti sekarang. Belum ada yang empat jinih. Tegasnya belum ber Monti.
3. Padang Sibusuk bernama Padang Sibusuk adalah semenjak negeri ini didiami dan pada abad ketiga sebelum Masehi bernama Silungkang telah menjadi Gajah Tongga Koto Piliang, sedangkan pertempuran dengan Aditiawarman itu terjadi pada abad ketiga belas.Nama Padang Sibusuk ini diambil dari/karena di Padang banyak tumbuh rumput Sibusuk.Kejadian pertempuran dengan Aditiawarman itu memang benar dan pengaruhnya adalah menambah populernya nama Padang Sibusuk itu. Keterangan ini juga kami terima dari H. Jafri Datuk Bandaro Lubuk Sati dengan keterangan yang sama di Istano Pagaruyung pada tanggal 24 Desember 1984.

H. Jafri Datuk Bandaro Lubuk Sati ini adalah pegawai kantor Gubernur Sumatera Barat yang ditunjuk untuk mengurus Istano Pagaruyung. Beliau telah mendapat bintang dan gelar Datuk Derjah Setia Negari dari kerajaan negeri Sembilan Malaysia karena masalah Adat.

4.
Istano (Istana) Pagaruyung gonjongannya adalah sebelas buah. Ini melambangkan perangkat pemerintahan Minangkabau di Pagaruyung yang terdiri dari Basa 4 balai dan Langgam yang 7. Karena Silungkang – Padang Sibusuk adalah salah satu dari Langgam yang 7, maka berarti bahwa salah satu dari gonjongnya itu adalah Silungkang – Padang Sibusuk (Gajah Tongga Koto Piliang).

Didalam Istano (Istana) Pagaruyung itu akan diperbuat 11 (sebelas) buah kamar (bilik). Sebuah dari kamar itu nantinya akan diperuntukkan untuk Gajah Tongga Koto Piliang (Silungkang – Padang Sibusuk).

5.
Beliau (Sjamsuddin Datuk Simarajo) berpesan : “Kami dari Istano Pagaruyung mengharapkan agar Gajah Tongga Koto Piliang mulai menyusun badan dari sekarang siapa orangnya yang akan mewakili Gajah Tongga Koto Piliang dalam peresmian Istano itu nantinya, seterusnya yang akan menempati kamar tersebut. Setelah tersusun akan segera kami kokohkan atas nama Kerajaan Pagaruyung”.

6.
Kami dari rombongan yang datang dari Silungkang (yang menerima uraian tersebut) mengusulkan agar : “Supaya pengurus Istano Pagaruyung mengusahakan pula mengadakan pertemuan antara kami Langgam yang Tujuh”. Usul ini beliau terima dan beliau berjanji akan mengusahakannya.

Demikian garis besarnya curaian yang kami terima.

Kami yang menerima curaian tersebut :

1. H. Kamaruzzaman : Datuk Rajo Intan
2. Arief Jalil : Datuk Mandaro Khatib
3. Rasyid Abdullah : Datuk Rangkayo Nan Godang
4. Izhar Harun : Datuk Rajo Nan Gadang
5. H. Nurdin Muhammad : Datuk Mangkuto Sati

Naskah ini diambil dari arsip Ketua Kerapatan Adat (KAN) Alm. Datuk Rangkayo Nan Godang

Yang Menyalin : H. Nazar Syamsuddin
Diposkan oleh RADAR JAMBI di 07:02:00 0 komentar
SEJARAH ASLI MINANG KABAU
Kronologi Langgam Nan Tujuah, Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai

October 25, 2009 in Kerajaan, Ketatanegaraan, Nagari | Leave a comment

Sekilas Tentang Kedudukan Raja dalam Kelarasan Koto Piliang

Dalam khazanah kelarasan Koto Piliang dikenal lembaga-lembaga yang bernama Langgam Nan Tujuah, Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Lembaga-lembaga ini sudah ada sejak kelarasan Koto Piliang didirikan, berlanjut sampai masa pemerintahan Pagaruyung dan diteruskan sampai saat ini. Pada masa pemerintahan Kerajaan Pagaruyung, kelarasan Koto Piliang tampak mendominasi struktur dan gaya pemerintahan Kerajaan Pagaruyung yang aristokratis sesuai nilai-nilai dan falsafah yang dianut kerajaan-kerajaan Jawa. Nilai nilai feodal, sentralistik, otokratis dan aristokratis ini dibawa oleh Adityawarman yang kemudian dirajakan sebagai salah satu anggota Rajo Tigo Selo. Kelarasan Koto Piliang yang didirikan oleh Datuk Katumanggungan ini memang berpandangan bahwa lembaga raja dalam hal ini Rajo Tigo Selo sangat dihormati. Kedudukan raja berada diatas segalanya menurut adat Koto Piliang.

Oleh sebab itu di daerah rantau yang rajanya (raja-raja kecil) ditunjuk langsung oleh Pagaruyung sebagai perwakilan disana, aturan dan madzhab ketatanegaraan Koto Piliang sangat mendominasi. Sebagai contoh adalah di Rantau Pasaman, nagari-nagari seperti Talu, Pasaman, Lubuk Sikaping, Rao , Cubadak dan Kinali diperintah oleh raja-raja kecil dengan sistem kelarasan Koto Piliang, dimana pergantian kepemimpinan dilakukan secara turun temurun layaknya sistem monarki kerajaan. Berikut adalah raja-raja kecil yang memerintah di nagari-nagari tersebut:

* Daulat Parik Batu di Pasaman
* Tuanku Bosa di Talu
* Rajo Bosa di Sundatar Lubuk Sikaping
* Tuanku Rajo Sontang di Cubadak
* Daulat Yang dipertuan di Kinali
* Yang Dipertuan Padang Nunang di Rao

Berbeda halnya dengan kelarasan Koto Piliang yang mendudukkan raja di atas segalanya, kelarasan Bodi Caniago memposisikan raja dan lembaga raja hanya sebagai simbol pemersatu. Akibatnya walaupun kelarasan ini memiliki 7 daerah istimewa beserta pemimpin-pemimpinnya, tidak ada bagian struktur kelarasan ini yang menyatu secara struktural dengan pemerintahan Kerajaan Pagaruyung. Daerah-daerah penganut kelarasan Bodi Caniago tersebar di Luhak Agam, Luhak Limopuluah, Solok dan sebagian kecil nagari di Luhak Tanah Datar (ex: Tanjung Sungayang). Daerah-daerah ini menganut kultur egaliterian dan anti sentralisme kekuasaan. Terbukti sebagian daerah-daerah di wilayah ini menjadi pendukung gerakan PRRI tahun 1957-1960 sebagai reaksi atas kebijakan sentralistik dari pusat kekuasaan di Jawa. Daerah-daerah wilayah ini pula yang paling bersemangat untuk kembali ke sistem pemerintahan nagari setelah periode reformasi. Read the rest of this entry »
Kerajaan Kerajaan Pendahulu Pagaruyung

October 25, 2009 in Kerajaan, Tambo | 1 comment

1. Kerajaan Pasumayan Koto Batu

Kerajaan ini disebut-sebut dalam Tambo Alam Kerinci sebagai tempat asal ninik masyarakat Kerinci. Rajanya bernama Sri Maharajo Dirajo yang merupakan kepala rombongan yang datang ke Pasumayan Koto Batu, Daerah kekuasaannya di Langgundi Nan Baselo yang masih diseputar Pasumayan Koto Batu, istrinya bernama Puti Indo Jalito dan anaknya bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian bernama Datuk Katumanggungan. Setelah meninggal dunia Sri Maharajo Dirajo digantikan oleh Datuk Suri Dirajo.

Semasa pemerintahan Datuk Suri Dirajo terjadi suatu peristiwa yaitu datang rusa dari laut yang besar sekali (sebagian menerjemahkannya sebagai peristiwa kedatangan Sang Sapurba). Atas petunjuk Datuk Suri Dirajo rusa besar tersebut dapat dijerat dan disembelih. Rakyat beriang-riang dan akhirnya tempat itu bernama Pariangan. Saat suasana beriang-riang itu Datuk Suri Dirajo menuju pada suatu tempat dan berdiri pada sebuah batu besar sambil menyandang pedang panjang. Akhirnya temat itu bernama Padang Panjang. Sebagai wakil raja di Pariangan diangkat Datuk Bandaro Kayo dan di Padang Panjang diangkek Datuk Maharajo Basa.
Di Pariangan didirikan sebuah tempat bersidang yang disebut Balai Nan Saruang. Di Balai Nan Saruang inilah segala sesuatu dimusyawarahkan yang berkaitan dengan pemerintahan adat dan kepentingan rakyat.
Semasa Kerajaan Pasumayan Koto Batu berlaku Undang-Undang yang bernama “Undang-Undang Simumbang Jatuah” Undang-undang ini sangat keras dan sebagai contoh siapa yang membunuh akan dibunuh. Apa yang diperintahkan harus dijalankan. Mungkin waktu itu tantangan sangat berat dalam membangun nagari seperti manggaluang taruko sawah ladang. Untuk itu perlu kerja keras dan undang-undang yang tegas pula.
Datuk Suri Dirajo kemudian mengangkat Sutan Maharajo Basa yang bergelar Datuk Katumanggungan dan Sutan Balun yang bergelar Datuk Perpatih Nan Sabatang. Keduanya dianggap oleh orang Minangkabau sebagai pendiri adat Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Semasa kerajaan Pasumayan Koto Batu ini adat Minangkabau sudah disusun sedemikian rupa kemudian disempurnakan oleh Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Read the rest of this entry »
Konfederasi Kota, Pemerintahan Nagari ala Kerajaan Champa

October 19, 2009 in Diaspora, Interpretasi, Kerajaan, Ketatanegaraan, Kronik, Literatur, Tarikh | 1 comment

Champa adalah nama negeri yang akrab dalam literatur tambo dan kaba klasik Minangkabau. Nama negeri ini identik dengan nama tokoh Harimau Campa yang merupakan anggota rombongan nenek moyang orang Minangkabau, Sultan Maharajo Dirajo. Nama Harimau Campa kemudian diabadikan dalam nama lembaga negara Harimau Campo Koto Piliang, yaitu lembaga negara yang berfungsi sebagai angkatan perang dan menteri pertahanan yang dijabat oleh Tuan Gadang di Batipuah. Keberanian orang-orang Champa yang sangat legendaris ini disebabkan keberhasilan mereka dalam menghancurkan pasukan Mongol dalam invasi yang dilakukan oleh Kubilai Khan.

Dalam kaba klasik, Champa muncul sebagai nama negeri perantauan Anggun Nan Tongga dan Malin Kundang, bahkan Malin Kundang dalam legenda masyarakat Air Manis, Padang di kemudian hari berhasil mempersunting salah satu Puteri Champa.

Champa juga dipercaya sebagai daerah asal dari pendiri Kerajaan Inderapura, terlihat dari nama ibukota pertama Inderapura yang disebut Muara Campa.

Selain itu Suku Jambak di Minangkabau juga merupakan suku yang pada awal mulanya datang dari negeri Champa ini. Nama Suku Campa lama kelamaan berubah jadi Suku Jambak dalam lidah Minangkabau.

Sekilas Kerajaan Champa

Kerajaan Champa (bahasa Vietnam: Chiêm Thành) adalah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan selatan, diperkirakan antara abad ke-7 sampai dengan 1832. Sebelum Champa, terdapat kerajaan yang dinamakan Lin-yi (Lam Ap), yang didirikan sejak 192, namun hubungan antara Lin-yi dan Campa masih belum jelas. Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Pulau Hainan (Tiongkok). Bahasa Champa termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.

VietnamChampa1

Sebelum terbentuknya Kerajaan Champa, di daerah tersebut terdapat Kerajaan Lin-yi (Lam Ap), akan tetapi saat ini belum diketahui dengan jelas hubungan antara Lin-yi dan Champa. Lin-yi diperkirakan didirikan oleh seorang pejabat lokal bernama Ku-lien yang memberontak terhadap Kekaisaran Han pada tahun 192 masehi, yaitu di dae
Diposkan oleh RADAR JAMBI di 06:58:00 0 komentar
KEBUDAYAAN CHAMPA YANG MEMPENGARUHI MINANG KABAU
You are currently browsing the category archive for the 'Kerajaan' category.
Pasang Surut Kerajaan Champa

October 31, 2009 in Diaspora, Kerajaan, Kronik, Literatur | Leave a comment

Nama Champa sedikit banyaknya berpengaruh terhadap kebudayaan Minangkabau. Asal usul Harimau Campa sebagai salah satu tokoh dalam Tambo yang ikut serta dalam rombongan Sultan Maharaja Diraja, kesamaan sistem matrilineal, kesamaan sistem konfederasi nagari dan kaitan dengan pendiri Kerajaan Inderapura adalah sekian banyak jejak yang berkaitan dengan wilayah Minangkabau. Diluar Minangkabau, pengaruh Champa sangat terasa di wilayah Aceh yang konon merupakan akronim dari Arab-Champa-Eropa-Hindustan. Bahkan istilah Bungong Jeumpa yang populer di Aceh itu disinyalir berasal dari “Bunga Champa”.

Kerajaan Champa didirikan di Vietnam oleh orang-orang Cham yang secara etnis tidak mempunyai hubungan dengan orang-orang Vietnam. Ketika kerajaan Funan yang berada sebelah selatan Champa dipengaruhi oleh Cina, kerajaan Champa selama 1600 tahun juga mendapatkan pengaruh dari Cina.

Akibat dari hal itu, Champa harus mengimbangi kekuatan di antara dua negara tetangganya dalam hal jumlah penduduknya dan pola militer : Vietnam di utara dan Khmer (Kamboja) di selatan. Seperti Funan, kerajaan Champa menerapkan kekuatan perdagangan pelayaran laut yang berlaku hanya di wilayah yang kecil.

Pertengahan abad VIII merupakan waktu yang kritis bagi Champa, seperti Kamboja, Champa harus bertahan atas sejumlah serangan dari Jawa. Tetapi bahaya Jawa segera berlalu pada awal abad IX karena Champa sendiri juga melakukan serangan-serangan. Dibawah Hariwarman I, Champa menyerang propinsi-propinsi Cina sebelah utara dengan mendapat kemenangan. Champa juga melakukan penyerangan ke Kamboja dibawah pimpinan Jayawarman II, yaitu pendiri dinasti Angkor. Serangan tersebut dibalas oleh Indrawarman II.

Di bawah Indrawarman II (854-893), didirikan ibu kota Indrapura di propinsi Quang Nam. Ia memperbaiki hubungan baik dengan Cina. Pemerintahannya merupakan pemerintahan yang damai, terutama dengan dengan dirikannya bangunan-bangunan besar Budha, sebuah tempat suci, yang reruntuhannya terdapat di Dong-duong, di sebelah tenggara Mison. Ini adalah bukti pertama adanya Budha Mahayana di Champa.

Indrawarman II mendirikan enam dinasti dalam sejarah Champa. Raja-rajanya lebih aktif daripada yang sebelumnya dalam perhatiannya pada kehidupan di negeri itu. Mereka bukan saja mendirikan tempat-tempat suci baru, tetapi juga melindungi bangunan-bangunan keagamaan itu dari para perampok dan memperbaikinya kembali jika rusak.

Selama pemerintahan pengganti Indrawarman, Jayasimhawarman I, hubungan dengan Jawa menjadi erat dan bersahabat. Seorang keluarga permaisurinya berziarah ke Jawa dan kembali dengan memegang jabatan tertinggi dengan sejumlah raja dibawahnya. Hubungan ini menjelaskan pengaruh Jawa pada kesenian Champa. Read the rest of this entry »
Diposkan oleh RADAR JAMBI di 06:34:00 0 komentar
Selasa, 22 Juni 2010
NASKAH MELAYU KUNO TELAH DI TEMUKAN DI KERINCI
Read the rest of this entry »
Penemu Naskah Undang-Undang Zaman Adityawarman

October 18, 2009 in Hasil Budaya, Interpretasi, Kerajaan, Ketatanegaraan, Literatur, Penelitian, Prasasti, Tarikh | 1 comment
ImageULI Kozok, doktor filologi asal Jerman, telah mengejutkan dunia penelitian bahasa dan sejarah kuno Indonesia. Lewat temuan sebuah naskah Malayu kuno di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi yang ia lihat pertama kali di tangan penduduk pada 2002, ia membantah sejumlah pendapat yang telah menjadi pengetahuan umum selama ini. Pendapat pertama, selama ini orang beranggapan naskah Malayu hanya ada setelah era Islam dan tidak ada tradisi naskah Malayu pra-Islam. Artinya, dunia tulis-baca orang Malayu diidentikkan dengan masuknya agama Islam di nusantara yang dimulai pada abad ke-14.

“Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah” yang ditemukan Kozok merupakan naskah pertama yang menggunakan aksara Pasca-Palawa dan memiliki kata-kata tanpa ada satupun serapan ‘berbau’ Islam.

Berdasar uji radio karbon di Wellington, Inggris naskah ini diperkirakan dibuat pada zaman Kerajaan Adityawarman di Suruaso (Tanah Datar, Sumatera Barat) antara 1345 hingga 1377. Naskah ini dibuat di Kerajaan Dharmasraya yang waktu itu berada di bawah Kerajaan Malayu yang berpusat di Suruaso. Karena itu Kozok mengumumkan naskah tersebut sebagai naskah Malayu tertua di dunia yang pernah ditemukan.

“Ada pakar sastra dan aksara menganggap tidak ada tradisi naskah Malayu sebelum kedatangan Islam, ada yang beranggapan Islam yang membawa tradisi itu ke Indonesia, dengan ditemukannya naskah ini teori itu runtuh,” kata Kozok yang bertemu Padangkini.com di Siguntur, Kabupaten Dharmasraya pengujung Desember 2007.

Aksara Sumatera Kuno

Pendapat kedua, seperti halnya Jawa, Sumatera sebenarnya juga memiliki aksara sendiri yang merupakan turunan dari aksara Palawa dari India Selatan atau aksara Pasca-Palawa. Selama ini aksara di sejumlah prasasti di Sumatera, seperti sejumlah prasasti-prasasti Adityawarman, disebut para ahli sebagai aksara Jawa-Kuno.


Padahal, menurut Kozok, aksara itu berbeda. Seperti halnya di Jawa, di Sumatera juga berkembang aksara Pasca-Palawa dengan modifikasi sendiri dan berbeda dengan di jawa yang juga bisa disebut Aksara Sumatera-Kuno.


Prasasti-prasasti peninggalan Adityawarman di Sumatera Barat, menurutnya, sebenarnya aksara Pasca-Palawa Sumatera-Kuno, termasuk yang digunakan pada Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah dengan perbedaan satu-dua huruf. Namun selama ini prasasti-prasasti itu disebut ahli yang umumnya berasal dari Jawa sebagai aksara Jawa-Kuno.

“Mereka punya persepsi bahwa Sumatera itu masih primitif dan orang Jawa yang membawa peradaban, begitulah gambaran secara kasar yang ada dibenak mereka, karena mereka peneliti Jawa, sehingga ketika mereka datang ke Sumatera dan melihat aksaranya, menganggap aksara Sumatera pasti berasal dari Jawa, nah sekarang kita tahu bahwa kemungkinan aksara itu duluan ada di Sumatera daripada di Jawa,” katanya.


Pendapat ketiga, kerajaan Malayu tua pada zaman Adityawarman telah memiliki undang-undang tertulis yang detail. Undang-undang ini dikirimkan kepada raja-raja di bawahnya. Selama ini belum pernah ada hasil penelitian yang menyebutkan Kerajaan Malayu Kuno memiliki undang-undang tertulis.


Pendapat keempat, dengan ditemukannya “Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah” selangkah lagi terkuak informasi mengenai Kerajaan Dharmasraya, Adityawarman, dan Kerajaan Malayu yang beribukota di Suruaso (Tanah Datar). Naskah tersebut menyebutkan Read the rest of this entry »
Diposkan oleh RADAR JAMBI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar