Sultan Tak Larang Ahmadiyah, Ini Kata FPI
Menurut FPI, Sri Sultan HBX selaku Gubernur Yogya wajib melarang Ahmadiyah di Yogya.
Minggu, 6 Maret 2011, 16:49 WIB
Ismoko Widjaya Sultan Tak Larang Ahmadiyah, Ini Kata FPI
Menurut FPI, Sri Sultan HBX selaku Gubernur Yogya wajib melarang Ahmadiyah di Yogya.
Minggu, 6 Maret 2011, 16:49 WIB
Front Pembela Islam (FPI) mengancam akan menarik dukungan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X bila tidak mengeluarkan larangan kegiatan Ahmadiyah Yogyakarta. FPI mengancam tak mendukung lagi penetapan Sultan sebagai Gubernur Yogya.
"Sultan tidak berhak menjadi pimpinan Yogyakarta karena mayoritas masyarakatnya Islam," kata Ketua Tanfidz FPI Yogya-Jawa Tengah, Muhammad Bambang Tedi, di Markas FPI Yogyakarta-Jawa Tengah, Jalan Wates Km8, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta, Minggu 6 Maret 2011.
FPI Yogya-Jawa Tengah mengeluarkan lima sikap pernyataan resmi atas sikap Sultan yang tidak akan mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur tentang Pelarangan Ahmadiyah. Pertama, Yogya adalah kesultanan Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Kedua, Bagi FPI, Yogya menghormati perbedaan Agama, tapi menolak penodaan Agama.
Ketiga, semua agama boleh hidup berdampingan secara damai di Yogya, tapi penodaan agama seperti Ahmadiyah dan garis liberal tidak ada tempat di Yogyakarta. Keempat, Sri Sultan HBX selaku Gubernur Yogya wajib melarang Ahmadiyah di Yogya untuk melindungi HAM umat Islam.
Terakhir, jika Sultan tidak melarang Ahmadiyah, maka Sultan tidak berhak menjadi pemimpin Yogya yang mayoritas rakyatnya adalah Islam. "Kalau Sultan tidak mau dukung FPI tuk melarang Ahmadiyah, maka kami akan dukung SBY dan menarik dukungan kita atas Keistimewaan Yogyakarta," ancamnya.
Seperti diketahui, sejumlah provinsi sudah mengeluarkan larangan atas kegiatan Ahmadiyah. Jawa Barat dan Jawa Timur sudah mengeluarkan larangan itu. Tetapi, Sultan menjamin tidak akan mengeluarkan larangan bagi Ahmadiyah.
Laporan: Erick Tanjung l Yogyakarta
Kedubes AS: Perda Batasi Minoritas Coreng RI
"Hukum seharusnya melindungi warga negara dari kekerasan bukan malah membatasi hak-hak."
6 Maret 2011, 20:46 WIB
Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia berpendapat peraturan-peraturan daerah yang membatasi keyakinan minoritas merusak reputasi Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi yang punya tradisi toleransi, dan komitmen melindungi kemerdekaan setiap warganya.
Dalam siaran pers Jumat 4 Maret 2011, Amerika Serikat menyatakan mendukung mayoritas rakyat yang menolak kekerasan, dan menjunjung toleransi. "Hukum seharusnya melindungi warga negara dari kekerasan bukan malah membatasi hak-hak mereka."
Beberapa waktu belakangan ini, sejumlah daerah mengeluarkan aturan melarang aktivitas Jemaat Ahmadiyah di daerahnya. Lembaga swadaya masyarakat Kontras mencatat, sudah belasan daerah mengeluarkan aturan semacam itu.
Bagaimana tanggapan Jemaat Ahmadiyah? Mubaligh Ahmadiyah Wilayah Sulawesi Selatan Barat, Ustadz Jamaluddin Feeli mengatakan, larangan atau dukungan tersebut adalah bagian dari romantika hidup. "Ada yang menerima kami, ada yang tidak. Ada yang sudah paham, ada yang belum. Namun yang terpenting adalah dialog, agar ada titik temu," kata dia saat dihubungi VIVAnews.com, Jumat 4 Maret 2011.
Dihubungi terpisah, Mubalig Ahmadiyah wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan NTT, Nasiruddin Ahmadi berpendapat, pelarangan aktivitas Ahmadiyah di beberapa daerah melanggar konstitusi. "Tidak sesuai dengan prinsip kebhinekaan Indonesia," ucap dia.
Larangan Ahmadiyah di Jawa Timur tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPT/013/2011. Ada empat butir larangan. Pertama, larangan menyebarkan ajaran Ahmadiyah baik secara lisan, tulisan maupun melalui media elektronik. Kedua, larangan memasang papan nama organisasi Ahmadiyah di tempat umum. Ketiga, larangan memasang papan nama di masjid, mushola, lembaga pendidikan dengan identitas JAI. Keempat, larangan menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan segala bentuknya.
Timur: Jangan Khawatir Detasemen Anti Anarki
Kapolri Timur Pradopo mengatakan, kerja detasemen anti anarki sesuai prosedur.
6 Maret 2011, 10:12 WIB
Rencana Polri meluncurkan Detasemen Anti Anarki minggu depan, menuai kritik. Ada yang menilai, detasemen itu tidak efektif dan memperkuat karakter Polri yang reaktif, represif dan paramiliteristik. Bahkan, dikhawatirkan berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam mengatasi kerusuhan massa.
Menanggapi keberatan dari banyak pihak, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengatakan, detasemen ini memiliki prosedur kerja. Sehingga, semua tindakan detasemen penanggulangan anti anarki bisa terukur.
"Saya kira semuanya tergantung pelanggaran itu sendiri. Kita semuanya bertindak tegas dan terukur, " kata Timur usai penandatanganan nota kesepahaman dengan Kadin di Jakarta, Jumat 4 Maret 2011. Detasemen Penanggulangan Anarki, lanjut Timur, tidak akan bertindak di luar prosedur yang telah ada.
Selain itu, Timur juga mengatakan pembentukan detasemen tidak menambah struktur di jajaran Polri. Karena, pada dasarnya detasemen ini merupakan bagian dari kesatuan yang telah ada.
"Saya kira tidak ada strutktur baru bagian dari satuan pengendalian huru hara yang diberikan kompetensi kemampuan untuk bagaimana menghadapi anarki," kata dia.
Untuk sementara, detasemen baru ini ini akan dibentuk di semua Polda di Pulau Jawa, Palembang, Medan, dan Makasar. Detasemen ini, merupakan implementasi dari Prosedur Tetap Nomor 01/X/2010 tentang Penanggulangan tindakan Anarkis atau yang sempat populer dengan 'protap tembak di tempat'.
Pembentukan detasemen ini merujuk pada dua rusuh yang terjadi hanya dalam tiga hari di Cikeusik, Pandeglang, Banten dan Temanggung, Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar