JAMBI EKSPRES:
Jumat, 10 Desember 2010 02:34 WIB
Siti Zulaikha *)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan keterangan pers di kantor Kepresidenan, Jakarta, Jumat (5/11). Presiden SBY memutuskan untuk memusatkan kendali operasi penanggulangan bencana letusan Gunung Merapi di bawah satu komando kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Syamsul Maarif yang akan dibantu oleh pemerintah daerah setempat. (ANTARA/Widodo S. Jusuf)
Jakarta (ANTARA News) - Publik jangan suka mengira-ngira, pengamat jangan coba menduga-duga, dan media jangan sering menggiring-giring opini tentang hal yang akan diputuskan presiden.
Kalau tidak mau SBY berkehendak lain, sehingga semua ramalan menjadi tidak berlaku sama sekali sering terjadi sepanjang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
SBY kerap kali memutus lain dari yang diperkirakan banyak pihak karena ada proses yang tidak diketahui publik.
Data berikut menguak lembar demi lembar peristiwa yang menguatkan pandangan ini.
Pengangkatan Jaksa Agung Basrief Arief pada 26 November lalu adalah fakta yang benderang.
Pelantikan mantan Wakil Jaksa Agung menjadi Jaksa Agung sempat merentangkan jeda selama dua bulan lebih.
Sejak Jaksa Agung Hendarman Supandji diberhentikan dengan hormat melalui Keppres pada 24 September lalu, polemik mengenai kekosongan kursi yang ditinggalkan di Gedung Bundar terus menggelinding.
Sebelumnya beredar kabar bahwa Presiden SBY akan melantik Jaksa Agung baru berbarengan dengan Kapolri. Ternyata tidak. Kapolri baru yang juga mengejutkan, ternyata justru dilantik lebih dulu pada 22 Oktober.
Kemunculan Basrief Arief tidak saja "terlambat" dari waktu yang ditunggu-tunggu publik, tetapi juga sedikit tidak lazim. SBY mempekerjakan kembali seorang purnajaksa yang sudah 3 tahun meninggalkan Korps Adhyaksa.
Pengangkatan itu mengabaikan nama-nama calon dari eselon I kejaksaan yang hilir-mudik mewarnai prediksi dan pemberitaan media massa. Pilihan yang dijatuhkan pada Basrief Arief tak ubahnya pernyataan bahwa tidak ada jaksa aktif yang layak menggantikan Hendarman Supandji.
SBY memilih nama yang di luar dugaan, keluar dari kelaziman, dan abai pada kontroversi-kontroversi yang menyertai. Dan pada akhirnya banyak pihak yang akhirnya memahaminya.
Cemooh yang mengiring hampir di setiap keputusan baru SBY bergeser menjadi apresiasi nantinya.
Kemunculan Basrief Arief pada awalnya dianggap aneh, nyatanya, setelah beberapa media menghadirkan selusuran rekam jejak yang bersangkutan, buah harapan menjadi bersemi kembali.
Wakil Jaksa Agung era Abdurrahman Saleh ini pernah gemilang saat memimpin tim pemburu koruptor pada kurun waktu tahun 2005 hingga 2007. Kegigihannya memburu koruptor kelas kakap yang berlarian ke luar negeri berhasil menyelamatkan triliunan rupiah uang negara.
Pembawaan pria Sumatera ini memang kalem, tapi rekam pekerjaan membuktikan bahwa ia pemburu koruptor tanpa ampun. Bandit sekelas Edy Tanzil, Sjamsul Nursalim hingga Hendra Rahardja telah dirampas semua asetnya untuk dikembalikan pada negara.
Kesemua prestasi itu barangkali, yang membuat SBY tak acuh terhadap semua keterkejutan banyak kalangan akan pilihan hatinya terhadap Basrief, mitra yang sangat dikenalnya saat ia menjadi Menkopolkam.
Masih mau cerita yang lain lagi tentang kenekatan SBY keluar dari kelaziman? Bagaimana ia menyulap mantan Kapolda Metro Jaya Timur Pradopo menjadi Kapolri dalam hitungan hari?
Kemunculan Timur Pradopo sebagai calon tunggal Kapolri begitu mengagetkan. Padahal, awal September lalu Kapolri Bambang Hendarso Danuri telah mengajukan dua nama calon penggantinya.
Pertama, Komjen Nanan Sukarna, Inspektur Pengawasan Umum Polri, dan kedua, Irjen Imam Sudjarwo, Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri.
Nanan lebih unggul dari sisi popularitas, sementara Imam memiliki hubungan kekerabatan dengan SBY. Namun keduanya tersingkir oleh munculnya Timur Pradopo yang namanya baru disebut kurang dari 24 jam sebelum pengumuman pencalonannya.
Pangkat komisaris jenderal juga baru diperoleh saat Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri mengangkatnya sebagai Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Senin sore 4 Oktober, beberapa jam sebelum namanya dikirimkan Presiden ke DPR sebagai calon Kapolri. Akrobat politik yang menarik dan mencengangkan kala itu.
Meski juga terperanjat, melalui Komisi III toh DPR menerima kelebihan seorang Timur sebagai Tribrata I. Perjalanan kariernya yang nyaris tanpa cacat menumbuhkan harapan dapat membantu menyelamatkan korps bhayangkara dari keterpurukan wibawa akibat aksi para mafia di dalamnya.
Satu-satunya catatan DPR yang menyangsikan Timur adalah kemungkinan keterlibatannya dalam tragedi Trisakti pada 1998. Namun, prasangka DPR mereda saat Timur menyampaikan klarifikasi bahwa posisinya sebagai Kapolres Jakarta Barat hanya menjalankan perintah atasan.Setelah itu. Kontroversi mengenai pemilihannya pun usai.
Tapi, gaya lembut lelaki Jombang itu tetap menyisakan ragu. Pria tegap berkumis tebal ini punya pembawaan lembut. Bahkan, wartawan yang menyegatnya usai Sidang Paripurna DPR tentang pengesahan dirinya sebagai Kapolri terbengong-bengong mendengar suara lirihnya.
Pimpinan sidang kala itu pun sempat menertawai gaya hormat Timur layaknya dirijen orkestra. Sosok perwira polisi yang jauh dari kesan garang. Mampukah ia melibas para mafia yang telah berurat akar di lingkungan kepolisian?
Demi kesempurnaan pandangan tentang kegemaran SBY "mengelabuhi" publik, ada baiknya simak juga kisah pengangkatan Menteri Kesehatan yang menghebohkan itu.
Adalah dokter spesialis mata Nila Juwita Moeloek yang telah mengikuti audisi menteri di Cikeas pada 20 Oktober, sehari sebelum formasi kabinet diumumkan. Keesokan harinya kabar tidak lolosnya guru besar Fakultas Kedokteran UI ini menyeruak.
Benar saja, saat susunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II diumumkan, muncul nama yang sama sekali baru, Endang Rahayu Sedyaningsih yang masih eselon II di Kementerian Kesehatan.
Dia tiba-tiba menempati posisi Menteri Kesehatan yang sedianya diperuntukkan bagi Nila Moeloek. Proses uji kelayakan dan kepatutan seperti calon menteri lain pun belum sempat dilakoninya.
Isu tak sedap mengenai turut campurnya Namru (Naval Medical Research Unit milik AS) menjadi-jadi semenjak pembatalan mendadak Nila Moeloek.
Apa mau dikata, anjing menggongong kafilah berlalu. Semua kontroversi akhirnya mereda seiring berlalunya sang waktu.
Kalem dan Santun
Jika ada waktu untuk merunut nama-nama pejabat penting yang diangkat dalam rentang masa pemerintahan SBY, maka akan kita dapati orang-orang dengan karakter serupa SBY.
Sebut dulu Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Anas adalah politisi muda asal Blitar nan kalem dan santun. Menilik gaya kepemimpinannya, mantan anggota KPU ini dijuluki SBY junior.
Kemudian Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono yang dilantik pada 28 September melalui mekanisme yang mulus nyaris tanpa riak. Mantan Kepala Staf Angkatan Laut ini tak lain adalah putra kota Blitar juga.
Bisa ditebak, karakternya tak jauh beda dari SBY. Terlalu santun untuk ukuran tentara. Saat wawancara "door stop" para wartawan sahut-menyahut meneriakkan pertanyaan, tetapi panglima tetap saja lembut menyahutnya.
"Opo ta, arep takon apa?" tanyanya pada wartawan suatu ketika. Kelembutan yang mengagetkan karena muncul dari seorang panglima TNI.
Ada juga Menteri Keuangan Agus Dermawan Wintarto Martowardojo, bankir kelahiran Amsterdam yang sangat Jawa.
Setiap kali menghadapi wawancara keroyokan, ia tetap fokus menjawab pertanyaan satu per satu secara detil dan tanpa buru-buru. Lalu ia menoleh ke segala arah untuk menanyai balik wartawan yang mengerumuninya.
"Silakan, ada pertanyaan lain?" begitu ia selalu menawari.
Masih ada pejabat lain di atasnya yang tak kalah kalem.
Tak perlu berpikir jauh-jauh. Bagaimana dengan Boediono? Sekali lagi, pria kalem kelahiran Blitar inilah yang dipilih menjadi pasangan dalam memimpin negeri ini.
Waktu itu yang melamar sebagai cawapres datang silih berganti dari sejumlah tokoh, tetapi pilihan hati SBY jatuh pada Boediono.
Kini setiap kali Wapres Boediono menghadiri suatu acara, seringkali para pejabat yang mengundang atau mendampingi menjadi kikuk dibuatnya. Gaya "tawadhu" yang ditampilkan membuat orang di sekitarnya salah tingkah.
Cerita tentang orang-orang kalem dan santun di sekitar SBY, terus berlanjut hingga pemilihan Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo dan Jaksa Agung Basrief Arief.
Jangan mendikte
Walau terkesan lemah dan peragu, sejarah membuktikan SBY acapkali menentang selera massa dalam memutuskan suatu pilihan.
Beberapa kejadian mengingatkan, betapa ia membiarkan opini berkembang liar di luar, padahal dia tengah mempertimbangkan hal lain.
Dibiarkannya nama Nanan Sukarna dan Imam Sudjarwo beredar mewarnai bursa calon Kapolri, padahal ia sedang menimang nama lain yang lantas dimunculkan saat injury time.
SBY juga tak bisa didikte dalam soal waktu.
Beberapa kali media dikelabui ketika memprediksi kapan Jaksa Agung pengganti Hendarman diangkat, kapan nama calon Kapolri atau Panglima TNI disetor ke DPR.
Selalu saja perkiraan itu meleset dan membuat media berulang-ulang meralat pemberitaan. Lalu, di suatu waktu yang tidak terduga, Presiden tiba-tida mengumumkan keputusannya.
SBY juga tak segan-segan menerobos pekatnya opini kontroversi yang menyertai pilihan dan keputusannya. Masih ingat, tatkala ia menyingkirkan Kasad Ryamizard Ryacudu yang sebelumnya diamanahkan Presiden Megawati untuk menjadi Panglima TNI?
SBY malah memilih Marsekal Joko Suyanto sembari mempersiapkan Joko Santoso yang belum memenuhi syarat untuk diangkat. Joko Santoso saat itu masih berpangkat mayor jenderal dan baru menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Jalan panjang untuk mengantarkan adik kelasnya sewaktu di Akademi Militer Nasional menuju tampuk pimpinan TNI ditempuh SBY.
Jika SBY berkehendak, ia tak mudah ditebak. Meski senantiasa menjaga citra, ia tak ragu melawan kebiasaan, menerobos kelaziman.
Kalimat di atas sejatinya merupakan penutup tulisan ini. Namun peristiwa terkini mengenai polemik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta terlalu berharga untuk tidak diakomodasi.
Bermula dari sidang kabinet 1 Desember kemarin, tatkala presiden menyampaikan pengantar sidang tentang RUU Keistimewaan Yogya. Ada muncul kata "monarki" dalam rangkaian penjelasan mengenai formula yang tengah dicari untuk tata kelola pemerintah daerah Yogyakarta dalam konteks Negara hukum, demokrasi, NKRI dan keistimewaan Yogya.
Sontak polemik monarki terburai. Gelombang kemarahan menghajar SBY dari segala arah dan kalangan. SBY bereaksi cepat dengan menggelar konferensi pers di istana Negara keesokan harinya. Dalam upaya klarifikasi itu ia tidak meminta maaf seperti yang dikehendaki masyarakat Yogya via media.
Malah dengan gagah berani ia ulang dengan persis kata demi kata termasuk kata monarki di dalamnya yang disampaikannya pada waktu pembukaan sidang itu.
Presiden justru mengharap balik kepada khalayak banyak khususnya warga Yogya untuk mencerna kata-katanya, karena kata monarki hanya terselip diantara bentangan kalimat panjang yang harus dicermati dan dimengerti secara utuh.
Begitulah SBY...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar