Laman

Minggu, 12 Desember 2010

ANTARA BOLA DAN KORUPSI SEGALA BIDANG

JAMBI EKSPRES:
Histeria Kekitaan Alfred Riedl

Borok demi borok dari korupsi menggurita; nestapa demi nestapa dari nasib mengenaskan ratusan tenaga kerja Indonesia (TKI) dan duka saling susul dari banjir sampai gempa bumi membuat masyarakat Indonesia merindukan festival kemenangan.

Dan sepak bola - utamanya Piala Suzuki AFF 2010 - menjawab angan-angan publik itu. Dengan mencecap aura duka, rakyat merayakan antifestival karena mereka mengenyam berbagai keprihatinan dan kesunyian.

Dengan mencicipi aura sepak bola, rakyat menanti happy ending, karena mereka mengharapkan kemenangan, kelegaan dan keriangan. Sepak bola telah mendapat julukan sebagai dewa histeria massa (the god of mob histeria).

Dan Alfred Riedl telah menebar histeria massa berlabel "kekitaan" dengan membawa skuad Merah Putih melaju ke semifinal dengan meraup poin sempurna, sembilan. Kini tim kejutan Filipina menanti Indonesia. Setelah meraih tiga kemenangan dari Malaysia, Laos, dan Thailand, Riedl terus meracik ramuan berlogo kekitaan untuk memberi kelegaan bagi publik Indonesia.

Histeria kekitaan di laga sepak bola, bagi pria kelahiran Wina, Austria, 2 November 1949 itu, bukan semata mengarah kepada kelompok sendiri.

Kekitaan, menurut Riedl yang telah empat kali bermain untuk Timnas Austria, dan membuat debut pada bulan April 1975 melawan Timnas Hungaria, pada dasarnya mewujud kepada kemampuan untuk merasakan kebersamaan bahwa "kita sebangsa" atau "kita sewilayah".

Histeria kekitaan kerapkali digerogoti oleh perspektif "mereka" yang menganggap orang lain sebagai ancaman. Dan perspektif "kami" yang memperlakukan sesama anak bangsa sebagai warga kelas dua.

Sebagai mantan striker andal kala masih menjadi pemain, Riedl membatinkan kekitaan sebagai kebersamaan. Dalam hitungan 98 penampilannya bersama Vienna, ia mendulang sukses menceploskan 58 gol, dan turut berperan membantu klub itu meraih gelar Bundesliga pada 1969 dan 1970 serta Piala Austria pada 1971. Setahun selanjutnya, ia menggondol predikat sebagai top skor.

Kekitaan memberangus opini sarat iri bahwa rumput tetangga lebih hijau dari rumah sendiri. Kekitaan mengusir opini salah duga bahwa yang maju selalu "orang lain". Histeria kekitaan khas Riedl mengobati akumulasi kekecewaan, kemarahan, kebencian dan kedendaman. Buktinya, ia mengakhiri karir profesionalnya dengan capaian 210 gol dari 427 penampilan di klub.

Setelah gantung sepatu sebagai pemain, mantan pemain timnas Austria itu mencoba peruntungannya sebagai pelatih. Bermodal semangat kekitaan, ia membawa Vietnam lolos ke laga puncak Piala Tiger (kini Piala AFF) pada 1998 meski akhirnya keok 0-1 dari Singapura.

Pada Piala Asia 2007, histeria kekitaan khas Riedl berbuah sukses. Dia membawa Vietnam ke perempat final setelah di babak penyisihan mendepak tim kuat Uni Emirat Arab 2-0. Ini kali pertama Vietnam sanggup lolos ke babak kedua.

Selanjutnya, ia berlabuh di timnas Laos. Di ajang SEA Games bersama timnas U-23, Laos melesat ke babak semi final. Dan ia kini telah melakoni 12 tahun berziarah bersama sepak bola kawasan Asia Tenggara.

Sejak April 2010, ia resmi dikontrak oleh PSSI selama dua tahun untuk bertugas sebagai Pelatih Timnas Indonesia. "Saya percaya Indonesia memiliki potensi yang besar untuk sukses di tingkat Asia Tenggara dan Asia. Inilah alasan utama saya mengapa setuju dengan kontrak PSSI," kata Riedl dalam emailnya kepada wartawan.

Satu persatu punggawa timnas Indonesia mengakui tangan dingin Riedl. Dari Firman Utina, Markus Horison sampai dua idola hasil naturalisasi, yakni Irfan Bachdim dan Christian "El Loco" Gonzales sama-sama mengiyakan bahwa keteguhan hati khas Riedl bermuara dari semangat kekitaan. Atas nama disiplin, ia bahkan tidak segan mencoret pemain berbakat asal Papua Boaz Salosa.

"Coach Riedl akan tahu betul mengatur strategi bermain menghadapi siapa pun lawan," kata asisten pelatih Wolfgang Pikal dalam sebuah wawancara dengan televisi swasta.

Logika kekitaan diterjemahkan kemudian dipraktekkan oleh Riedl sebagai premis kesungguhan menapaki setiap tugas dan menjalani setiap jengkal pekerjaan.

Kalau kebenaran menjadi isi dari kesimpulan, maka buah dari kekitaan dalam sepak bola adalah kemenangan, kelegaan dan keriangan. Inilah histeria kekitaan khas Riedl. Meski ketika Bambang Pamungkas sukses mengeksekusi penalti ke gawang Thailand, Riedl memilih duduk manis di bangku pemain pinggir lapangan. Ia tanpa ekspresi.

Setelah menumbangkan Thailand di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Selasa (7/12) malam WIB, ia langsung pergi ke Hanoi (Vietnam) bersama Direktur Teknis Badan Timnas Indonesia Sutan Harhara untuk melihat pertandingan di Grup B.

"Saya akan menonton pertandingan Vietnam (melawan Singapura), sementara Pak Harhara akan menyaksikan pertandingan Filipina (lawan Myanmar)," katanya. Secara umum, ia mengaku relatif puas dengan performa anak asuhannya dan optimistis dengan peluang Indonesia menjuarai AFF kali ini.

"Kalau mereka bermain sama seperti dalam dua laga terakhir ini, saya rasa tidak akan ada masalah," katanya. Indonesia telah mengalahkan Malaysia (5-1), Laos (6-0) dan Thailand (2-1). "Tidak ada favorit di turnamen ini. Semuanya kuat. Vietnam kuat, Singapura kuat, bahkan sekarang Filipina tampil kuat," katanya lebih lanjut.

Menghadapi timnas Filipina yang tidak lagi tampil sebagai tim anak bawang di kawasan Asia Tenggara, Riedl tidak ingin bersikap seperti tukang sulap yang mengeluarkan kelinci dari topi kosong. Ia tidak ingin kekitaan menumpas orisinalitas individu. Dan Filipina justru disesaki oleh sejumlah pemain kinclong hasil naturalisasi.

Pelatih asal Inggris Simon McMenemy yang menukangi timnas Filipina tahu betul makna kebersamaan dengan mendayagunakan kepiawaian sejumlah pemain kunci yang nota bene pernah merumput di klub-klub Inggris. Sebut saja, Robert James Dazo Gier yang memulai karirnya sebagai pemain sepakbola dengan memperkuat klub Wimbledon, pada musim kompetisi 1999-2000.

Philip Younghusband merupakan pemain binaan klub Chelsea. Meski ia menjadi pemain di tim cadangan Chelsea, ia telah bermain sebanyak 62 kali dan mencetak 14 gol. Sedangkan dibawah mistar gawang, ada kiper muda Neil Etheridge yang pernah memperkuat tim nasional U-16 Inggris. Ia kini bermain untuk klub anggota Liga Premier Inggris, Fulham.

Nah, laga semifinal timnas Indonesia melawan Filipina bukan tidak mungkin memanggungkan salah satu rumus kehidupan bahwa penilaian yang berbeda hendaknya dilekatkan kepada kehadiran orang lain. Tiap orang adalah orang asing bagi yang lain. Tiap tim adalah tim yang asing bagi tim yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar