Laman

Minggu, 12 Desember 2010

DARAH DAN AIR MATA DEMI HAM

JAMBI EKSPRES:
Jumat, 10 Desember 2010 17:26 WIB | Artikel
F.x. Lilik Dwi Mardjianto
Darah Dan Air Mata Untuk Tegaknya HAM

Seorang mahasiswa Universitas Trisakti menabur bunga memperingati tragedi 12 Mei 1998 di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat

Aksi Kamisan terus berlanjut. Sejumlah orang yang merasa menjadi korban atau keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tekun menggelar aksi yang digelar setiap Kamis di depan Istana Merdeka.

Sejak 2007, mereka meluangkan waktu selama satu jam, setiap Kamis sore, untuk sekedar berdiri dan diam di depan pusat kekuasaan negeri ini. Diam adalah bentuk perlawanan mereka.

Hingga penghujung 2010, terutama menjelang peringatan Hari HAM Internasional setiap 10 Desemmber, mereka tetap setia. Mereka menggunakan tata cara yang sama setiap kali beraksi.

Sejumlah payung hitam bertuliskan peristiwa-peristiwa pelanggaran ham dan pakaian serba hitam adalah ciri khas mereka. Aksi itu juga selalu dibuka dan ditutup dengan doa.

Sumarsih menyatu dalam keheningan doa tersebut. Dia selalu setia pada aksi sunyi itu. Wanita paruh baya ini merasa bertanggung jawab untuk memperjuangkan keadilan atas kematian anaknya, Wawan, akibat tertembus peluru aparat dalam aksi mahasiswa 1998.

Dia bercerita, Wawan tergabung dalam regu penyelamat ketika ribuan mahasiswa yang lain menggelar aksi pada 1998 untuk menuntut Sidang Istimewa, sesaat setelah Presiden Soeharto lengser.

Saat itu, kata Sumarsih, sebagian mahasiswa terpusat di kawasan Semanggi, khususnya di kampus Universitas Atma Jaya.

Polisi bersama tentara berhadapan dengan mahasiswa. Bahkan, sejumlah aparat berjaga di atas jalan layang, lengkap dengan senjata penghalau massa.

"Tentara di atas jembatan Semanggimengarahkan senjata mereka ke arah mahasiswa, menembak dan langsung mundur sambil menyanyi dan menari bahagia," kata Sumarsih ketika ditemui di rumahnya.

Dalam riuh teriakan mahasiswa dan rentetan suara tembakan, Wawan keluar dari dalam kampus karena melihat temannya tergeletak di halaman. Nalurinya sebagai anggota regu penyelamat membuncah. Dia berlari dengan mengibarkan kain putih tanda perdamaian, menuju temannya yang tak berdaya.

Sumarsih menuturkan, semua terjadi begitu cepat. Anaknya kehilangan nyawa ketika hendak menyelamatkan nyawa orang lain. Wawan tertembak di dada.

Wanita berambut putih itu begitu terguncang. Air matanya selalu menetes ketika mengenang anaknya yang malang.

Sejak kematian Wawan, Sumarsih tidak makan nasi. Dia melakukan hal itu sebagai bentuk keprihatinan sekaligus perjuangan demi keadilan. Dia juga masih menyimpan kaos putih yang dikenakan Wawan pada saat ajal menjemput.

Keprihatinan Sumarsih itu melebur dalam duka para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang setia berkumpul setiap Kamis.

Aksi keprihatinan itu bukan hanya untuk peristiwa 1998. Para peserta aksi mengusung tuntutan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM di seluruh Indonesia.

Beberapa dari mereka adalah korban peristiwa 1965, kekerasan di Talang Sari Lampung, Tanjung Priok Jakarta, dan masih banyak kasus pelanggaran HAM lainnya.

Aksi Kamisan yang terus berlanjut adalah pertanda penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM belum tuntas.

Hal itu dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Indriaswati Dyah Saptaningrum.

"Dua agenda besar yang gagal direalisasikan sepanjang tahun ini adalah tanggung jawab penyelesaian pelanggaran ham di masa lalu, dan kekerasan kelompok massa serta aparatus negara terhadap masyarakat marjinal," katanya dalam pernyataan resmi untuk memperingati Hari HAM Internasional 2010.

Dia mengartikan kekerasan sebagai perlakuan tidak menyenangkan terhadap kelompok agama minoritas dan kekerasan aparat penegak melalui praktek kriminalisasi terhadap petani dalam berbagai konflik yang terkait ekspansi perkebunan sawit. Selain itu, dia juga menyinggung kekerasan aparat terhadap mereka yang diduga melakukan tindak pidana.

ELSAM mencatat sejumlah kasus pelanggaran HAM sampai dengan awal Desember 2010, yaitu 120 kasus kriminalisasi terhadap petani, dan 99 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang sebagian mengakibatkan kematian.

Selain itu, data ELSAM juga menunjukkan bahwa sampai 8 Desember 2010 telah terjadi 38 penyerangan dan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah serta sejumlah gereja yang dilakukan oleh kelompok-kelompok terorganisir garis keras.

ELSAM menuntut pemerintah untuk menuntaskan sejumlah kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Organisasi itu jugua meminta pemerintah mencegah pelanggaran HAM sesuai dengan program yang termuat dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) dan Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan.

Pemerintah juga diminta mencabut kebijakan-kebijakan yang menghambat dan mengancam kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, seperti UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik; UU No. 44 tahun tentang Pornografi, UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama, dan peraturan-peraturan turunannya.

Sumarsih dan para korban pelanggaran HAM tetap setia dalam perjuangan untuk mendapatkan keadilan. Di dalam hati mereka tergantung tanda tanya besar; akankah pemerintah juga setia untuk memenuhi janji yang telah terucap?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar