JAMBI EKSPRES:
KONTROVERSI GAGAK HITAM
Harusnya Merespon, Bukan Serang Balik
Sekretaris Kabinet Dipo Alam diwawancarai Kompas di kantor Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (16/2/2011). Dipo Alam menjadi perhatian setelah mengeluarkan pernyataan yang menyebut para pemuka agama yang mengkritik pemerintah seperti burung gagak hitam yang tampak seperti merpati berbulu putih.
Pengamat politik dari Reform Institute Yudi Latif menyatakan, munculnya julukan gagak hitam yang disampaikan Sekretaris Kabinet Dipo Alam kepada para tokoh lintas agama merupakan bentuk serangan balik pemerintah atas tuduhan bohong yang sempat disampaikan para tokoh agama itu. Pemerintah, lanjut Yudi, seharusnya menjawab dan merespon tuntutan tokoh agama itu, bukan melakukan serangan balik dengan membuat julukan gagak hitam tersebut.
Hal itu dinilai justru menunjukkan sikap sarkatik pada tokoh agama. Menurutnya, respon Dipo Alam mencerminkan Pemerintah tak mampu lagi menjawab tuntutan para tokoh agama.
"Saya kira itu memberi label sarkatik terhadap tokoh agama. Pemerintah melarikan diri dari tuntutan tokoh agama, keluar dari substansi menuju ke soal-soal semantik. Bohong atau tidak bohong atau melakukan serangan balik, seperti gagak hitam atau lainnya. Pemerintah belum respon secara cepat apa yang menjadi tuntutan tokoh agama," ungkap Yudi saat menjadi pembicara dalam diskusi Institute Gerakan di Gedung LIPI, Sabtu (19/02/2011).
Tindakan serangan balik ini, tutur Yudi, justru tidak menjawab kritik yang disampaikan tokoh agama. Pemerintah harusnya bisa mengklarifikasi kritik-kritik itu dengan mengeluarkan data-data perbandingan yang bisa dibuktikan bahwa Pemerintah tidak berbohong.
"Selama ini pemerintah tidak pernah melakukan klarifikasi kemudian memberikan data-data bandingan yang dilontarkan tokoh lintas agama. Justru melompat dengan cara melarikan diri keluar dari substansi," tambahnya.
Menurutnya, serangan balik Pemerintah sebagai bentuk pengalihan isu dengan menciptakan peperangan karakter. Termasuk di antaranya dengan menuduh individu tokoh agama berambisi politik, karena ingin jadi presiden.
"Jadi dilarikan masalah substansinya dan mengalihkan isu itu dengan menciptakan pepeperangan karakter," ujar Yudi.
Seperti diketahui, Dipo Alam menyatakan para tokoh agama adalah gagak hitam pemakan bangkai yang tampak seperti merpati berbulu putih. Ia mengatakan demikian karena merasa ada tujuan politis para pemuka agama itu dalam penyampaian pernyataan kebohongan Presiden SBY.
Wawancara dengan Dipo Alam
Menanggapi pernyataan tokoh lintas agama yang menyebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan kebohongan, Sekretaris Kabinet Dipo Alam bereaksi. Dalam beberapa kesempatan, Dipo menyebut para pemuka agama itu sebagai burung gagak hitam pemakan bangkai yang tampak seperti merpati berbulu putih.
Tak pelak, pernyataan yang dinilai defensif tersebut menuai kritikan. Kompas.com mendapat kesempatan mewawancarai Dipo Alam, yang juga mantan aktivis tahun 1970-an di Kantor Sekretaris Kabinet, Jakarta, Kamis (17/2/2011) silam. Dipo pun mengutarakan asal-muasal istilah tersebut.
"Saya katakan, mereka gagak hitam, karena mereka terkontaminasi dengan gerakan politik," katanya. Pernyataan ini, kata dia, tak mencerminkan sikap pemerintahan, melainkan pernyataan pribadi. "Kebetulan saya seorang Seskab. Saya sebagai manusia politik punya hak juga untuk menilai," ujarnya.
Dipo menuding gerakan moral tersebut bermuatan politis. Hal ini tercermin dari kesimpulan deklarasi yang menyatakan Presiden telah melanggar konstitusi. "Itu saya melihat arahnya sudah politik, karena kalau sudah dianggap melanggar konstitusi, itu layak di-impeach," katanya.
Wacana bahwa Presiden melakukan kebohongan, menurut Dipo, semakin melebar. Saat ini, kata dia, ada Badan Serikat Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama Melawan Pembohongan Publik, yang merangkul mahasiswa. Ada pula pendirian rumah-rumah pengaduan kebohongan.
Dipo khawatir ada pihak-pihak yang menunggangi gerakan moral pemuka agama, namun tidak dapat memastikannya. "Pada dasarnya, pemerintah sama sekali tak alergi mendapat kritikan. Ini negara demokrasi. Kita tidak takut karena sembilan poin kebohongannya adalah suatu yang debatable," ungkapnya.
Presiden, kata Dipo, mengakui ada sejumlah program yang belum tercapai 100 persen. Namun, hal ini tak bisa serta-merta dikatakan melanggar konstitusi.
Terkait tudingan ini, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Romo A Benny Susetyo, menyatakan, perjuangannya dan beberapa pemuka agama adalah perjuangan yang berdasarkan hati nurani. Romo Benny merupakan salah satu tokoh deklarator gerakan moral tersebut.
Menurut Romo Benny, kegiatan yang berdasarkan hati nurani berbeda dengan kegiatan politik kekuasaan. Hati nurani, katanya, selalu membimbing seseorang untuk memperjuangkan yang tertindas dan tidak menempatkan kekuasaan sebagai hal utama. Sedangkan politik selalu berorientasi pada kekuasaan. "Saya tidak ingin jadi menteri atau jadi apa-apa, saya ini pastor," katanya, seperti dilansir Antara.
Ia menegaskan, gereja Katolik memberi batasan tegas bahwa seorang pastor tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik yang berorientasi kekuasaan. Imam atau pastor memiliki tiga tugas utama, yaitu tugas menguduskan dunia, tugas kenabian melalui pewartaan keadilan, dan tugas gembala dengan melindungi sesama terutama yang lemah.
Sementara itu, anggota Presidium KWI, Mgr PC Mandagi, menyatakan, KWI mendukung sepenuhnya upaya tokoh lintas agama yang memperjuangkan keadilan bagi rakyat Indonesia. "KWI mendukung sepenuhnya. Kalau kita tidak bersuara, maka itu bukan KWI," katanya.
Perjuangan tokoh-tokoh lintas agama, menurut Pastor Mandagi, adalah perjuangan moral. Perjuangan itu merupakan upaya para tokoh agama untuk mengingatkan pemerintah bahwa ada sesuatu yang salah. Dia menegaskan, tokoh lintas agama hendak mengingatkan bahwa seharusnya pemerintah bekerja keras dalam menyejahterakan dan menyatukan rakyat. "Seharusnya pemerintah bersyukur ada tokoh agama yang mau mengingatkan," ujarnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, pernyataan Dipo Alam merupakan pengalihan isu dari apa yang telah dinyatakan para tokoh lintas agama. "Saya tidak punya waktu melayani tuduhan seperti itu karena bersifat mengalihkan perhatian orang," katanya.
Kebebasan Pers
Media Kritis Diancam Tak Dapat Iklan
Senin, 21 Februari 2011 | 18:44 WIB
Sekretaris Kabinet Dipo Alam diwawancarai Kompas di kantor Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (16/2/2011). Dipo Alam menjadi perhatian setelah mengeluarkan pernyataan yang menyebut para pemuka agama yang mengkritik pemerintah seperti burung gagak hitam yang tampak seperti merpati berbulu putih.
Sekretaris Kabinet Dipo Alam mengancam, media yang selalu mengkritik pemerintah tak akan mendapat iklan dari institusi pemerintah. Dipo akan meminta sekretaris jenderal dan humas-humas lembaga negara tak memasang iklan di media yang bersangkutan.
Selain itu, media yang rajin mengkritik tersebut juga diancam tak akan diberikan informasi. "Pokoknya, saya katakan, kalo mereka (media) tiap menit menjelekkan terus, tidak usah pasang (iklan). Saya akan hadapi itu. Toh, yang punya uang itu pemerintah. Enggak usah pasang iklan di situ dan juga sekarang orang yang di-interview dalam prime time tidak usah datang," tutur Dipo kepada para wartawan di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (21/2/2011).
Dikatakan Dipo, ada media-media yang selalu mengkritik pemerintahan. Kritikan tersebut dinilai merugikan pemerintah. Dicontohkan, ada media yang menampilkan peristiwa kekerasan berulang-ulang.
"Ini, kan, membuat investor lari. Seolah-olah Indonesia ini kacau. Indonesia ini gelap," katanya. Ditegaskan, pemerintah tidak alergi kritik, tetapi Dipo meminta kritik dilakukan secara sehat dan seimbang sehingga tidak menimbulkan persepsi yang salah.
Polemik
Dipo Alam Menuai Kritik
Pernyataan Sekretaris Kabinet Indonesia Bersatu Kedua, Dipo Alam, menyatakan bahwa para pemuka agama, yang menyebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan kebohongan, seperti burung gagak hitam pemakan bangkai yang tampak seperti merpati berbulu putih, menuai dikritik. Dipo dinilai merespons kritikan tokoh agama secara defensif.
"Seharusnya, pemerintah menjawab kritikan tokoh agama dengan aksi nyata. Dipo Alam jangan menanggapi kritik dalam kerangka personal. Apa yang disampaikan Dipo Alam menambah efek ketidakpuasan publik terhadap pemerintah," kata pengamat politik Yudi Latif kepada wartawan di Reform Institute, Jakarta, Selasa (15/2/2011).
Apa yang disampaikan para tokoh agama, kata Yudi, sangat relevan. Saat ini, kata dia, negara baru turun tangan menyelesaikan persoalan bangsa setelah ada kritikan dari publik.
Seperti diwartakan, Dipo secara tegas manyandingkan beberapa tokoh lintas agama dengan gagak hitam dan merpati putih. "Mereka ini seperti gagak hitam yang berpenampilan merpati putih. Mereka berpolitik praktis dengan label tokoh agama," kata Dipo.
Dipo tersinggung dengan pernyataan dan tindakan para tokoh agama yang gencar mengkritisi pemerintah. Para tokoh lintas agama menyatakan, pemerintah telah gagal dalam memenuhi sejumlah janji yang dibuat di hadapan rakyat.
Mantan aktivis mahasiswa tahun 1970-an itu menganggap tindakan para tokoh lintas agama adalah kegiatan politik. Oleh karena itu, Dipo mengusulkan agar para tokoh agama itu mendirikan partai politik atau organisasi kemasyarakatan, sehingga masyarakat benar-benar bisa membedakan antara kegiatan moral dan kegiatan politik.
"Itu sama dengan gagak hitam yang tampil seperti merpati putih. Masyarakat tidak boleh dibuat bingung yang mana gagak dan yang mana merpati," katanya dalam kesempatan lain.
Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Romo A Benny Susetyo, juga menanggapi pernyataan Dipo Alam.
Romo Benny yang juga aktivis lintas agama itu menyatakan, perjuangannya dan beberapa pemuka agama adalah perjuangan yang berdasarkan hati nurani. Menurut dia, kegiatan yang berdasarkan hati nurani berbeda dengan kegiatan politik kekuasaan. Hati nurani, kata Romo Benny, selalu membimbing seseorang untuk memperjuangkan yang tertindas dan tidak menempatkan kekuasaan sebagai hal utama. Sedangkan politik selalu berorientasi pada kekuasaan. "Saya tidak ingin jadi menteri atau jadi apa-apa, saya ini pastor," katanya.
Menurut dia, gereja Katolik memberi batasan tegas bahwa seorang pastor tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik yang berorientasi kekuasaan. Dia menjelaskan, Imam atau Pastor memiliki tiga tugas utama, yaitu tugas menguduskan dunia, tugas kenabian melalui pewartaan keadilan, dan tugas gembala dengan melindungi sesama terutama yang lemah.
Sementara itu, anggota Presidium KWI, Mgr PC Mandagi, menyatakan, KWI mendukung sepenuhnya upaya tokoh lintas agama yang memperjuangkan keadilan bagi rakyat Indonesia. "Kalau kita tidak bersuara, maka itu bukan KWI," katanya.
Perjuangan tokoh-tokoh lintas agama, kata Pastor Mandagi, adalah perjuangan moral. Perjuangan itu merupakan upaya para tokoh agama untuk mengingatkan pemerintah bahwa ada sesuatu yang salah. Dia menegaskan, tokoh lintas agama hendak mengingatkan bahwa seharusnya pemerintah bekerja keras dalam menyejahterakan dan menyatukan rakyat. "Seharusnya pemerintah bersyukur ada tokoh agama yang mau mengingatkan," ujar Mandagi.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, masing-masing tokoh agama sudah memiliki organisasi, sehingga pembentukan organisasi politik, seperti yang diusulkan oleh Dipo Alam, tidak diperlukan. Din sebaliknya menyatakan pernyataan Dipo Alam merupakan pengalihan isu dari apa yang telah dinyatakan para tokoh lintas agama. "Saya tidak punya waktu melayani tuduhan seperti itu karena bersifat mengalihkan perhatian orang. Sikap seperti itu hanya menunjukkan kekerdilan politik, maka saya tidak mau melayani," tutur Din.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar