JAMBI EKSPRES:
Din Syamsuddin Dukung Perda Batasi Ahmadiyah
"Jelas kami mendukung apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah soal Ahmadiyah."
Sabtu, 5 Maret 2011, 13:08 WIB
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mendukung kebijakan pimpinan daerah seperti Jawa Timur, Jawa Barat, dan Kota Bogor terkait pelarangan ajaran Ahmadiyah.
"Sudah jelas akidah Ahmadiyah bertentangan dengan akidah Islam, dan itu tidak bisa diterima umat Islam. Intinya sudah tidak ada bisa diperdebatkan," ujar Din usai mengikuti seminar internasional 'Islam, Peace, and Justice' di Hotel Sahid, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Sabtu 5 Maret 2011.
Menurut dia, Muhammadiyah mendukung apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah soal Ahmadiyah.
Dia menambahkan, jika peraturan itu dikatakan melanggar Hak Asasi Manusia, apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah juga sebaliknya, karena mengkafirkan umat Islam yang tidak mempercayai Mirza Ghulam Ahmad. "Memang masalah HAM selalu dijadikan celah untuk keberadaan Ahmadiyah di Indonesia," kata dia.
Untuk itu, Din melanjutkan, diperlukan ketegasan dari pemerintah mengenai keberadaan Ahmadiyah, sehingga tidak berlarut-larut. "Kalau pemerintah masih saja tidak tegas, akan mengundang reaksi dan kontroversi di masyarakat, khususnya umat Islam. Itu juga berpotensi menimbulkan pertikaian dan kekerasan," tuturnya.
Seperti diketahui, Sejumlah daerah, seperti Jawa Timur, Jawa Barat, dan Kota Bogor sudah resmi mengeluarkan larangan aktivitas terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Larangan Ahmadiyah di Jawa Timur tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPT/013/2011. Ada 4 butir larangan yakni: larangan menyebarkan ajaran Ahmadiyah baik secara lisan, tulisan maupun melalui media elektronik; larangan memasang papan nama organisasi Ahmadiyah di tempat umum; larangan memasang papan nama di masjid, musala, lembaga pendidikan dengan identitas JAI; dan larangan menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan segala bentuknya.
Larangan yang sama dikeluarkan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, pada Kamis 3 Maret 2011. Di hari yang sama, pemerintah Bogor mengeluarkan aturan serupa.
Tidak hanya itu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo juga akan membuat aturan ini lebih tegas. Tidak hanya mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pelarangan ajaran Ahmadiyah, tapi juga akan membuat Peraturan Daerah (Perda).
Dihubungi terpisah, Mubalig Ahmadiyah wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan NTT, Nasiruddin Ahmadi berpendapat, pelarangan aktivitas Ahmadiyah di beberapa daerah melanggar konstitusi. "Tidak sesuai dengan prinsip kebhinekaan Indonesia," ucap dia.
Ramai-ramai Melarang Ahmadiyah
Kontras mencatat sedikitnya ada 11 peraturan daerah membatasi ruang gerak Jemaat Ahmadiyah
Sabtu, 5 Maret 2011, 09:42 WIB
Wali Kota Padang memimpin pencopotan papan nama Ahmadiyah
Gelombang kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah memicu rentetan pelarangan aliran kontroversial ini di berbagai daerah. Komisi Orang Hilang untuk Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, hingga kini sedikitnya ada 11 peraturan daerah--yang diteken bupati hingga gubernur--yang melarang atau membatasi ruang gerak kelompok ini.
Terhitung mulai Februari 2011, setelah meletup tragedi Cikuesik, Pandeglang, ada empat daerah yang menerbitkan keputusan melarang segala aktivitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Keempatnya adalah keputusan Gubernur Sumatera Selatan pada tanggal 8 Februari 2011; Bupati Pandeglang, Banten, pada tanggal 21 Februari 2011; Walikota Samarinda pada 25 Februari 2011; dan Gubernur Jawa Timur pada 28 Februari 2011.
Sejumlah pemerintah daerah telah lebih dulu melakukannya. Di antaranya: Lombok Timur pada 1983; Kuningan, Jawa Barat (2002); Garut, Jawa Barat (2005); Cianjur, Jawa Barat (2005); dan Sukabumi, Jawa Barat pada 2006.
Di Jawa Timur, Gubernur Soekarwo meneken surat keputusan Nomor 188/94/KPTS/013/2011. Isinya berisi sederet larangan bagi Jemaat Ahmadiyah untuk: menyebarkan ajaran baik secara lisan, tulisan, maupun melalui media elektronik; memasang papan nama dan segala bentuk atribut lain di tempat umum, masjid, mushala, lembaga pendidikan, dan tempat-tempat umum.
Soekarwo menyatakan pelarangan itu ditetapkan sesuai prosedur demokrasi. Sebelum keputusan diambil, dia mengatakan telah mengadakan pertemuan dengan pihak Ahmadiyah dan pihak-pihak terkait lainnya. Karena itu, dia mengatakan siap meladeni jika ada gugatan dari Ahmadiyah pusat, jika tidak terima dengan keputusan itu.
"Kami tidak melarang akidah atau ritualnya. Cuma, jangan menggunakan sound system saat adzan atau beribadah," kata Gubernur. Ibadah dinyatakan hanya dilakukan di lingkungan mereka sendiri dan Jemaat Ahmadiyah diminta agar tidak memicu gejolak dan kecemburuan sosial.
Dan Maret ini, ruang gerak Jemaat Ahmadiyah bakal makin sempit.
Kamis 3 Maret, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, juga mengambil langkah serupa. Dia menandatangani Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat.
Ahmad Heryawan menjelaskan, peraturan itu diambil melalui rapat koordinasi pimpinan daerah sehari sebelumnya. Hal-hal yang dilarang kurang lebih sama dengan keputusan koleganya di Jawa Timur.
Menurut dia, aturan ini dikeluarkan demi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat; termasuk larangan menyerang dan menyakiti warga Ahmadiyah. "Dan mengawasi aktivitas Jemaat Ahmadiyah dari kegiatan penyebaran ajaran yang menyimpang dari Islam," kata dia. "Bila larangan tersebut dilanggar, Pemda akan menghentikan aktivitas Jemaat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan."
Di hari yang sama, larangan serupa diberlakukan di wilayah Kota Bogor, Jawa Barat. Hal itu ditetapkan dalam Keputusan Walikota Bogor Diani Budianto yang dinyatakan berlaku sejak ditandatangani, 3 Maret 2011.
Dalam surat keputusan itu dinyatakan, pengikut Jemaat Ahmadiyah dilarang melakukan segala kegiatan yang berkaitan dengan penyebaran, penafsiran, dan aktivitas yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam. "Mereka juga dilarang menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam bentuk apapun," ujar Diani.
Ia berdalih pelarangan itu dilakukan sebagai salah satu bentuk kewajiban Pemerintah Kota Bogor untuk melindungi masyarakat dan menjaga persatuan kesatuan serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahkan, warga Ahmadiyah juga segera akan menjadi 'warga negara kelas dua' di ibukota mereka sendiri. Rencana serupa sedang digodok Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bahkan, Gubernur Fauzi Bowo mengatakan akan membuat peraturan yang lebih luas cakupannya. "Kalau perlu tak hanya surat keputusan, tapi kami akan bicara dengan DPRD, membuat peraturan daerah," kata Fauzi di Balai Kota Jakarta, Jumat, 4 Maret 2011.
Untuk itu, Fauzi sudah membentuk tim pengkaji surat keputusan, yang berasal dari kantor Bidang Kesejahteraan Masyarakat dan kantor Bidang Kesatuan Bangsa dan Politik.
***
Namun, ada sebuah 'daerah istimewa' bagi jemaah Ahmadiyah: Daerah Istimewa Yogyakarta. Di tengah ramai-ramai terbitnya peraturan daerah melarang Ahmadiyah, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X justru menjamin tidak akan menerbitkan ketentuan serupa.
Menurut Sultan, keberadaan Ahmadiyah di Yogyakarta selama ini tidak pernah menimbulkan masalah. "Yogyakarta kini damai, jadi tak perlu provokasi," kata Sultan, Kamis kemarin. "Daerah yang mengeluarkan SK pelarangan Ahmadiyah, itu inisiatif mereka untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan."
Lalu bagaimana tanggapan Jemaat Ahmadiyah?
Mubalig Ahmadiyah Wilayah Sulawesi Selatan Barat, Ustadz Jamaluddin Feeli, mengatakan, berbagai larangan tersebut adalah bagian dari kenyataan hidup yang harus mereka jalani. "Ada yang menerima kami, ada yang tidak. Ada yang sudah paham, ada yang belum. Namun yang terpenting adalah dialog, agar ada titik temu," kata dia saat dihubungi VIVAnews.com, Jumat kemarin.
Jamal meminta pemerintah, termasuk pemerintah daerah, bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan "agar tidak ada yang merasa dilarang dan dibubarkan".
Suara lebih keras datang dari mubalig Ahmadiyah Wilayah Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Nasiruddin Ahmadi. Ditanya soal itu, dia lantang menyatakan bahwa pelarangan aktivitas Jemaat Ahmadiyah itu nyata-nyata melanggar konstitusi dan "tidak sesuai dengan prinsip kebhinekaan Indonesia." (Laporan: Ayatullah Humaeni, Bogor; dan Tudji Martudji, Surabaya | kd)
Kedubes AS: Perda Batasi Minoritas Coreng RI
"Hukum seharusnya melindungi warga negara dari kekerasan bukan malah membatasi hak-hak."
Jum'at, 4 Maret 2011, 20:46 WIB
Masjid Ahmadiyah yang nyaris dibakar di Kebayoran Lama
Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia berpendapat peraturan-peraturan daerah yang membatasi keyakinan minoritas merusak reputasi Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi yang punya tradisi toleransi, dan komitmen melindungi kemerdekaan setiap warganya.
Dalam siaran pers Jumat 4 Maret 2011, Amerika Serikat menyatakan mendukung mayoritas rakyat yang menolak kekerasan, dan menjunjung toleransi. "Hukum seharusnya melindungi warga negara dari kekerasan bukan malah membatasi hak-hak mereka."
Beberapa waktu belakangan ini, sejumlah daerah mengeluarkan aturan melarang aktivitas Jemaat Ahmadiyah di daerahnya. Lembaga swadaya masyarakat Kontras mencatat, sudah belasan daerah mengeluarkan aturan semacam itu.
Bagaimana tanggapan Jemaat Ahmadiyah? Mubaligh Ahmadiyah Wilayah Sulawesi Selatan Barat, Ustadz Jamaluddin Feeli mengatakan, larangan atau dukungan tersebut adalah bagian dari romantika hidup. "Ada yang menerima kami, ada yang tidak. Ada yang sudah paham, ada yang belum. Namun yang terpenting adalah dialog, agar ada titik temu," kata dia saat dihubungi VIVAnews.com, Jumat 4 Maret 2011.
Dihubungi terpisah, Mubalig Ahmadiyah wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan NTT, Nasiruddin Ahmadi berpendapat, pelarangan aktivitas Ahmadiyah di beberapa daerah melanggar konstitusi. "Tidak sesuai dengan prinsip kebhinekaan Indonesia," ucap dia.
Larangan Ahmadiyah di Jawa Timur tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No 188/94/KPT/013/2011. Ada empat butir larangan. Pertama, larangan menyebarkan ajaran Ahmadiyah baik secara lisan, tulisan maupun melalui media elektronik. Kedua, larangan memasang papan nama organisasi Ahmadiyah di tempat umum. Ketiga, larangan memasang papan nama di masjid, mushola, lembaga pendidikan dengan identitas JAI. Keempat, larangan menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan segala bentuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar