Laman

Kamis, 24 Februari 2011

AYAT KEBEBASAN BERTUHAN

RATU ARAB

JAMBI EKSPRES:

Ayat Kebebasan Bertuhan

M Fajrul Falaakh

Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menghormati agama, tetapi negara tidak menentukan keberadaan agama.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965, misalnya, bukan deklarasi tentang agama terdaftar. UU ini ”sekadar” mendeskripsikan keberadaan agama secara historis-sosiologis dalam dua kategori: agama-agama yang kebanyakan dianut di Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu) serta agama lain (seperti Yahudi, Zoroaster, Shinto, dan Taoisme). ”Daftar agama” ini selalu terbuka sesuai keterbukaan hati penduduk Indonesia.

Konstitusi sebagai norma tertinggi dalam hukum nasional menjamin kebebasan beragama—Pasal 28E Ayat (1), 28I Ayat (1), dan 29 Ayat (2) UUD 1945— serta kebebasan berkeyakinan— Pasal 28E Ayat (2) UUD 1945. Kebebasan ini diwujudkan berdasarkan prinsip timbal balik, yaitu tak menerabas kebebasan pihak lain dan dapat dibatasi secara proporsional untuk tujuan konstitusional tertentu (Pasal 28J UUD 1945). Garis kese(t)imbangan konstitusional ini harus dijaga oleh negara.

Negara ”terpaksa” ikut campur apabila terjadi ”keterlanggaran” dalam kehidupan beragama, misalnya karena terjadi penafsiran yang bersifat menyimpang atau penodaan agama.

UU No 1/1965 membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan di ranah publik, yaitu menyebarkan penafsiran atau melakukan kegiatan yang bersifat menyimpang dari pokok ajaran agama atau menodai agama (religious blasphemy).

Meski dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi (2010), UU ini tidak melegitimasi tindak pidana atas nama kebebasan beragama. Meski demikian, bekerjanya institusi dan sanksi negara atas penyebaran ajaran yang dinilai menyimpang dari pokok ajaran Islam (di Pandeglang, 6/2) dan sanksi atas tindakan penodaan agama (melalui peradilan di Temanggung, 8/2) justru dihakimi sendiri oleh mereka yang meyakini kemurnian agamanya disimpangi atau kesuciannya dinodai.

Penyimpangan ajaran

Kebebasan beragama atau berkeyakinan dibatasi di ranah publik apabila berbentuk penyebaran ajaran/penafsiran atau kegiatan yang bersifat menyimpang dari ajaran pokok agama. Pelanggaran atas pembatasan ini dikenai sanksi secara bertahap.

Pertama, sanksi ”administratif-keagamaan” berupa peringatan dan perintah menghentikan penyebaran ajaran tersebut di muka umum. Kedua, pembubaran organisasi apabila tetap menyelewengkan ajaran agama di muka umum (semestinya melalui proses peradilan). Ketiga, pidana penjara lima tahun bagi pelaku yang masih melanjutkan kegiatan dimaksud.

Sanksi pertama diwujudkan dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Mendagri, dan Jaksa Agung. SKB ini keputusan administrasi negara. SKB Ahmadiyah 2008, misalnya, ”menghukum” organisasi Ahmadiyah dengan larangan menyebarkan tafsir keagamaannya di muka umum, yang dinilai sesat, seperti SKB tentang Darul Arqam, Children of God, Saksi Yehova, atau Jamaah Darul Hadis.

Sebetulnya meluruskan kembali kesesatan beragama adalah tugas pemuka agama tanpa kenal waktu, sama dengan tugas berdakwah. Namun, umat beragama bisa bertindak anarkis sehingga peran negara dibutuhkan. Kalau ayat kebebasan beragama berubah jadi ayat anarki, negara harus mencegahnya. Menurut UU No 1/1965, ”penyelewengan ajaran agama yang nyata-nyata merupakan pelanggaran pidana” diancam sanksi pidana. Kebebasan beragama tak melegitimasi tindak pidana. Dalam hal ini negara menggunakan pendekatan ketertiban dan ketenteraman umum, baik oleh kepolisian maupun Kejaksaan Agung.

Jadi, dua pihak diancam sanksi: perseorangan atau organisasi yang melanjutkan penyebaran tafsir sesat suatu agama ataupun perseorangan atau organisasi penyebar ayat anarki. Birokrasi negara dan aparat penegak hukum cukup menggunakan ketentuan yang melarang tindak pidana, bukan bersikap seperti teolog atau pemuka agama memperdebatkan manipulasi ayat kebebasan beragama menjadi ayat anarki.

Penodaan

Secara teknis penodaan agama dirumuskan dengan dua hal. Pertama, di muka umum sengaja menyatakan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama. Kedua, di muka umum sengaja menyatakan atau melakukan perbuatan dengan maksud agar orang tak menganut agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang bahkan dinilai sebagai ”mengkhianati sila pertama dari negara secara total”.

Namun, ”Uraian-uraian tertulis ataupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk, dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal ini” (Penjelasan Pasal 4). Jadi, kebebasan akademik tetap dijamin.

Penodaan agama diadili oleh peradilan umum. Sanksi yang diancamkan adalah pidana penjara selama-lamanya lima tahun (boleh kurang). Saat peradilan terhadap terdakwa penodaan agama berlangsung di Temanggung (8/2), justru terjadi mobilisasi kaum Muslim untuk merusak proses peradilan itu, diikuti perusakan gereja-gereja Kristen Pantekosta dan Katolik. Hukum publik dan cita keadilan masyarakat dirusak, justru pada kasus penodaan agama yang terdakwanya dikenai sanksi pidana maksimum.

Untuk kesekian kali peristiwa seperti di Pandeglang dan Temanggung menjadi masalah serius bagi kese(t)imbangan kehidupan beragama yang bebas. Kelompok minoritas keagamaan bahkan mengalami persekusi dan tempat-tempat ibadahnya dirusak. Meski berbeda cara dan pengucapan, mereka juga menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa. Mereka yang menjalankan ayat kebebasan bertuhan seharusnya dilindungi negara dari paksaan atau tindak kekerasan.

M Fajrul Falaakh Dosen Fakultas Hukum UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar