JAMBI EKSPRES:
HARYO DAMARDONO
Perang belum usai. Inovasi, strategi, hingga aksi ”sikut menyikut” bergantian diluncurkan oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi. Tarif pun ditekan serendah-rendahnya; ditandai iklan-iklan yang merasuki. Namun tampaknya, soal ”perang” ini tak ada keberatan karena tarif semakin murah.
Empat tahun silam, tidak banyak orang berani menelepon interlokal misalnya dari Jakarta ke Padang. Tidak sampai satu menit, mungkin biayanya Rp 50.000. Bila sering ke wartel, terlihat jelas di layar monitor, ongkos pembayaran percakapan yang terkuras cepat seiring dengan bertambahnya waktu.
Kini, komunikasi lebih mudah sekaligus murah. Baik tarif telepon, pesan singkat, maupun data juga makin murah. Tanpa disadari, dibanding empat tahun silam, tagihan telepon tinggal 30-50 persennya. Penghematan biaya yang dapat dialihkan membeli keperluan lainnya.
Si penabuh genderang perang itu adalah Hasnul Suhaimi, yang sejak September 2006 menjabat Chief Executive Officer PT XL Axiata, Tbk. Sikap tak pernah berpuas diri serta strateginya untuk terus mereposisi organisasi telah memicu perang itu.
”Data percakapan di India tahun 2006 membuka mata saya. Saya terkejut sebab di sana tiap orang rata-rata berbicara 500 menit per bulan. Sementara di XL saat itu tiap orang hanya 43 menit per bulan. Jauh bedanya,” kenang Hasnul.
Tim dibentuk. Seorang perempuan yang bukan manajer memimpin tim beranggota 14 orang. ”Saya tunjuk dia sebagai ketua tim, mengepalai beberapa manajer karena dia menguasai materi yang didapatnya di lapangan. No problem, tak ada masalah dengan struktural perusahaan,” kata Hasnul yang ditemui akhir Agustus 2010.
Dua bulan tim bekerja, keluarlah angka tarif Rp 1 untuk percakapan satu detik.
Dunia telekomunikasi Indonesia gempar. XL terus melaju. Januari 2008, Excelcomindo malah melansir tarif Rp 0,1 per detik. Kini di XL, rata-rata percakapan per orang sudah 500 menit per bulan. Sementara operator pesaingnya 300 menit per orang per bulan.
Jejak keberhasilan strategi XL yakni adanya lonjakan pelanggan. Tahun 2006, hanya 9,5 juta pelanggan yang tertarik bergabung. Pada akhir tahun 2007 menjadi 10,2 juta pelanggan. Sementara hingga semester I tahun 2010, jumlah pelanggan XL telah 35,2 juta orang.
Reorganisasi
Diakui Hasnul, saat dia mulai berkarya di XL, organisasi sudah rapi bahkan terlalu rapi. Masalahnya, dalam dunia yang berubah cepat, organisasi yang terlalu rapi malah menyusahkan.
”Marketing misalnya, tak boleh tertata rapi. Harus dinamis. Masak pernah ada marketing saya yang tidak tahu tarif Telkomsel dan Indosat. Ya saya minta dia ke lapangan lagi,” kata Hasnul. ”Bagaimana XL meningkatkan diri bila tak tahu posisinya,” ujar Hasnul.
Namun dia meluruskan, dalam sebuah perusahaan tetap harus ada organisasi yang ”rapi”, seperti divisi pembangunan dan operasional.
XL bertransformasi di zaman Hasnul. Dimulai dari hal sederhana, seperti diubahnya tata letak (lay-out) kantor. Lantas, mutasi karyawan dari bagian sumber daya manusia ke jaringan (network). Kerja tim juga ditanamkan dalam keseharian kerja karyawan sebagai strategi utama melawan kompetitor.
Struktur yang boleh dibuat lentur langsung diobrak-abrik. Birokrasi dipangkas. Direktur keuangan dibolehkan mendatangi marketing, untuk menanyakan langsung penyebab berkurangnya penjualan. ”Nah, orang marketing juga bisa protes langsung. Marketing misalnya bisa bilang tak cukup ada budget sehingga pemasaran kurang. Budget ditambah, dan penjualan naik,” ujar Hasnul.
Alasan serupa mendasari mutasi orang jaringan pada divisi sales. ”Ini supaya orang jaringan mengerti, bila pekerjaan mereka buruk, bila jaringan lemah, maka bagian sales akan susah jualan produk,” kata Hasnul.
Rotasi akhirnya menjadi prasyarat pemimpin di XL. Untuk menjadi seorang manajer umum, seorang pegawai diharuskan telah bekerja di dua direktorat. Bila terlalu lama di posisinya, pegawai itu sangat hebat di bidangnya, tetapi tak mengerti hal lain. Atau, dapat kehilangan daya dobraknya lagi.
Terobosan
Hasnul juga memimpin XL dalam merancang dan melontarkan terobosan-terobosan. Kebijakan pemerintah per Maret 2008, tentang penggunaan menara bersama, telah didahului Excelcomindo dengan menyewakan menaranya untuk pelanggan Axis di Sumatera sejak Desember 2007.
Langkah XL untuk menyewakan menara pada masa itu sempat dianggap gila. ”Di sebuah ruang diskusi, saya juga pernah menantang. Apa Pertamina berani di tiap SPBU mereka, selain menjual bensin Pertamina, juga menjual Shell, Total, atau Petronas. Analogi itu kan sama langkah kami menyewakan menara XL untuk operator lain,” kata Hasnul sembari terkekeh.
Tujuh puluh persen manajer Excelcomindo, yang dimintai pendapatnya oleh Hasnul, ketika ide itu digulirkan, menolak rencana awal penyewaan menara. Para manajer itu mengkhawatirkan munculnya ”perang terbuka”. Bagaimana mungkin, memberi amunisi pesaing?
Menara, base transfer tranceiver-ringkasnya jaringan telekomunikasi, merupakan senjata pamungkas bagi sebuah perusahaan telekomunikasi untuk memenangi persaingan. Barang siapa memiliki jaringan yang luas, akan mampu memenangi hati calon pelanggan.
”Tetapi saya tantang bagian penjualan, berani tidak bersaing meski menara juga dipakai Axis? Mereka bilang siap, tetapi sebenarnya mau tak mau mereka pasti bilang siap ke saya,” kata Hasnul sambil tertawa. Sejurus kemudian, dia menekankan motivasi tinggi pun diberikan ke bagian penjualan.
Tenaga pemasaran Excelcomindo memang harus bekerja ekstra keras setelah salah satu keunggulan mereka dilepas ke pesaing. Di lapangan, kerja divisi pemasaran memang sudah ekstra keras. Tak sedikit terjadi perusakan spanduk antaroperator hanya untuk sedikit lebih unggul dari pesaing.
Terlepas dari segala hambatan, alhasil, tantangan yang disodorkan Hasnul ke internal perusahaan membuahkan hasil. Pelanggan baru tetap diraih Excelcomindo karena penjualan yang makin tangguh. Di sisi lain, kantong XL makin bertambah berkat penyewaan 7.000-8.000 unit menara tahun 2010.
Kini operator-operator besar telah menjangkau lebih dari 90 persen populasi disertai tarif murah. Maka, kini era kualitas layanan harus menjadi fokus utama. Hal ini pula yang sedang dicoba XL untuk menyiapkan diri di masa mendatang, tentu dengan tetap memanfaatkan optimalisasi kerja tim.
Saat duduk di tampuk pimpinan Excelcomindo, mungkin Hasnul Suhaimi bertindak luas dan simpel seturut nalurinya untuk mereorganisasi struktur manajemen. Namun, tak disadarinya, reorganisasi itu telah memerdekakan telekomunikasi Indonesia dengan tarifnya yang murah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar