Laman

Jumat, 08 Oktober 2010

KEBERANGKATAN KE BELANDA SBY TUNGGU PERKEMBANGAN

JAMBI EKSPRES:


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memberikan keterangan pers di Ruang VIP Lanud Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Selasa (5/10/2010) siang terkait pembatalan lawatannya ke negeri Belanda.
Kalah perkara di pengadilan Den Haag dan bahkan harus membayar biaya persidangan, akan tetapi John Wattilete, yang mengaku diri Presiden Republik Maluku Selatan di pengasingan, merasa ”menang” karena berhasil menunda kunjungan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda.

Sementara di Jakarta, Kamis (7/10/2010), Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono kembali menegaskan, penundaan keberangkatannya ke Belanda, Rabu lalu, melalui beberapa pertimbangan.

”Kita harus memiliki sikap yang pasti dan tegas manakala ada sesuatu yang tidak boleh terjadi. Bagi saya, lebih baik saya tunda daripada saya berkunjung ke sana dan menimbulkan komplikasi politik dan persoalan yang lebih serius lagi di antara kita dengan Belanda di masa datang,” kata Presiden menjelang sidang kabinet terbatas bidang politik di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, Kamis.

Presiden mengatakan, ”Menunda sambil melihat perkembangan lebih lanjut. Sebab, sesungguhnya Indonesia ingin menjalin persahabatan dengan negara mana pun, termasuk dengan kerajaan Belanda, yang justru pada saat terakhir ini hubungan kita sangat baik sekali.”

Merasa menang


Meski demikian, penundaan keberangkatan Presiden SBY ke Belanda itu juga justru ”disambut gembira” oleh John Wattilete, yang mengaku diri Presiden RMS di pengasingan.

”Kenyataan ini lebih indah daripada mimpi. Siapa sangka kami (RMS) mampu menghalangi kunjungan kenegaraan Presiden RI?” kata John Wattilete saat diwawancara kantor berita Belanda, ANP, Kamis.

Pengadilan Den Haag, Rabu, memang telah memutuskan menolak gugatan (kort geding) atau proses praperadilan kilat yang diajukan kelompok yang menamakan diri RMS di Belanda, yang meminta Pemerintah Belanda agar menangkap Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono karena dituduh telah melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Meskipun sudah dinyatakan kalah beperkara, pengacara John Wattilete, E Tahitu, mengaku akan naik banding.

”Saya tetap percaya sistem demokrasi (di Belanda), pada hukum dan keadilan yang akan terus membantu perjuangan kami untuk meraih hak asasi yang bertahun-tahun diimpikan rakyat Maluku,” kata E Tahitu, seperti dikutip ANP.

Menurut pengadilan Den Haag, Rabu lalu, Presiden SBY sebagai kepala negara mempunyai kekebalan diplomatik dan tidak bisa dituntut hukum pidana di Belanda. Kekebalan itu tidak bisa diganggu gugat.

Menurut John Wattilete, masih menurut ANP, ia mengaku tidak ikut diundang hadir dalam acara jamuan kenegaraan seandainya saja SBY jadi melakukan kunjungan ke Belanda.

”Pada masa pemerintahan Gus Dur 10 tahun lalu, situasinya berbeda,” tuturnya dalam wawancara. Dia dan Gus Dur bertemu dan saling tukar pikiran. Gus Dur, menurut Wattilete, berani mendobrak tembok penghalang dan bicara dengan pihak RMS.

”Namun, setelah Gus Dur pergi, hal itu pun berlalu,” ujar Wattilete, yang mengaku di pengasingan sejak April 2010 (RMS meresmikan diri terpisah dari RI pada 25 April 1950).

Bahkan, Duta Besar Republik Indonesia untuk Belanda Junus Habibie juga tidak mau bicara langsung dengan orang yang mengaku diri Presiden RMS ini karena menurut Habibie, ”RMS adalah organisasi yang tidak sah.”

Disarankan ke Belanda


Di tempat terpisah, mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menyarankan agar sesegera mungkin SBY ke Belanda.

”Harus segera ke Belanda kalau sudah mendapatkan waktu yang tepat,” kata Jusuf Kalla saat ditemui seusai peresmian Gerai Palang Merah Indonesia di Bekasi, Kamis.

Selain kunjungan itu dapat meredam isu yang dapat memengaruhi hubungan antara Indonesia dan Belanda, hal tersebut juga bisa meredam isu soal keberadaan RMS.

”Seharusnya isu tentang RMS tak usah diperhatikan lagi. RMS sudah tidak ada apa-apanya. Mereka tak boleh lagi diberi peluang untuk kembali,” ujar Kalla.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar