JAMBI EKSPRES:
Komunitas seniman di Provinsi Jambi mengaku kecewa terhadap panitia Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci (FMPDK) yang tidak mengundang mereka untuk terlibat mengisi dan memeriahkan kegiatan yang masuk kalender nasional tersebut.
"Jelas kita kecewa, kita selaku seniman Jambi kok tidak diundang untuk terlibat memberikan sumbangsih karya kita di ajang itu," ungkap salah seorang kurator seni lukis Jambi, Fauzi Z, di Jambi, Jumat (22/10).
Padahal para pelukis Jambi yang tergabung di Sanggar Tanah pilih binaannya selama ini telah menyiapkan diri dan karya terbaiknya untuk dapat dipamerkan pada ajang Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci (FMPDK) tersebut.
Pengakuan serupa juga diungkapkan Seniman Foto Jambi, Sakti Alam Watir. Menurut dia, sangatlah disayangkan ketika kegiatan akbar yang digelar di Provinsi Jambi tersebut justeru tidak mengundang dan mengajak atau menyuguhkan karya para seniman Jambi.
Didi Hariadi, seniman teater Jambi juga mengungkapkan kekecewaannya dan menyatakan, biarpun ia dan kelompoknya tidak diundang untuk menampilkan pertunjukan teater, tapi hadir di tempat festival itu saja pada saat pelaksanaan sudah menjadi kebahagiaan tersendiri.
Menurut Kepala Taman Budaya Jambi Drs Jafar Rasuh, saat ini di Jambi terdapat 140 sanggar seni berbagai genre seperti tari, rupa, teater, sastra dan musik dengan jumlah seniman 223 orang.
"Pada FMPDK kali ini hanya satu sanggar saja yang diundang yakni sanggar musik tradisi Mindulahin yang nota bene berasal dari Kerinci," ujarnya.
Menanggapi kekecewaan kelompok seniman ini, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kerinci Drs Arlis Harus mengatakan, soal undangan tampil dan mengisi acara, ditentukan oleh seksi undangan. petugasnya sudah mendata dan menyusun dengan cermat siapa saja yang akan diundang.
"Bisa saja salah satu pertimbangan peserta undangan adalah kesatuan jenis konten kesenian komunitas tersebut dengan tema acara, mungkin dinilai kurang sinkron," katanya.
Kesenian Magis dari Kota ‘Sakti’
Ia disebut kota Sakti. Sakti itu diartikan adalah sesuatu yang keramat dan mampu (kuasa) berbuat sesuatu yang melampaui kodrat alam. Pada dasarnya memang itulah makna yang tersirat dibalik kata Sakti. Di Kerinci, Sakti itu adalah sebuah singkatan dari Sejuk, Aman, Kenangan, Tertib dan Indah. Sehingga tak jarang kota ini disebut Kota Sakti di propinsi Jambi.
Dibalik ‘sakti’ itu sebuah singkatan, juga mengandung sederet makna dari ‘sakti’ itu sendiri. Itu terlihat dari kawasan Kerinci dikenal memiliki banyak kesenian magis. Unsur-unsur magis itu tertuang pada tradisi kesenian tari, seperti tari Nitik Naik Mahligai. Tari ini biasanya muncul satu tahun sekali, tepat pada saat Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci, festival yang rutin diadakan setiap tahun di Danau Kerinci, Jambi.
Tari Nitik Naik Mahligai biasanya dibawakan oleh 20 penari. Salah satu keunikan dari tarian sakral ini yaitu diperankan oleh penari wanita karena pada masa lalu yang memegang tampuk kekuasaan di Kerinci adalah perempuan. Kaum lelaki hanya menjalankan pemerintahan.
Atraksi tarian yang berasal dari Desa Siulak Siulak Mukai, salah satu desa yang terletak di Kecamatan Gunung Kerinci, Kerinci bagian utara, adalah berjalan di atas api dengan memakai pakaian adat daerah. Sambil kobaran api yang menyala, sembari asap yang mengepulkan bau harum kemenyan, penari harus berhasil memadamkan bara api dengan kedua tangannya.
Tiupan seruling panjang membuat suasana semakin terasa mistis. Dua pedang sepanjang setengah meter diletakkan di kanan kiri tungku. Hanya dalam hitungan menit, asap hitam membubung ke atas. Lengkingan penari pun akan terdengar kencang diiringi entakan musik. Suara musik itu terdengar dari gendang yang ditabuh terbuat dari kulit hewan, yang disebut rabano. Teriakan itu merupakan pertanda penari telah berhasil mengalahkan rintangan tersulit menuju takhta sesuai dengan nama tarian itu, Nitik Naik Mahligai (Jalan Menuju Takhta).
Atraksi yang juga tak ayal dilakukan yang menambah suasana magis dari tarian Nitik Naik Mahligai adalah membengkokkan dua bilah pedang di hadapan dupa menyala yang melambangkan gelora jiwa. Tak hanya itu, di sebuah desa di Koto Tengah ada tarian Marcok dengan penari berkaki telanjang yang menari di atas pecahan kaca dengan menusuk-nusukkan keris di tubuh. Ada juga secara bergantian, berjalan di atas pisau panjang yang tajam. Berjalan di atas mangkuk berisi telur panas tapi tidak boleh pecah, mematahkan tombak, serta berjalan di atas paku dan kayu yang ujungnya dibuat tajam. Sebelum tampil untuk atraksi tersulit, penari harus melakukan ritual mandi suci dengan buah balimau (jeruk purut) dan pandai membaca mantra.
Tiap atraksi mengandung arti. Berjalan di atas pedang, misalnya, melambangkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Rintangan paku melambangkan sang pemimpin harus mampu menghadapi masalah dengan tabah, misalnya bila terjadi konflik dalam negerinya. Kertas atau daun melambangkan kemakmuran bagi perekonomian rakyatnya. Pedang dan tombak artinya seorang pemimpin bila dalam keadaan terjepit harus mengambil sikap yang tegas. Sedangkan bara api adalah simbol kebatinan kepada Yang Maha Kuasa.
Tarian ini adalah warisan turun-temurun dari leluhur di Siulak Mukai, Kabupaten Kerinci. Awalnya tarian ini merupakan bagian dari prosesi calon raja yang akan memerintah pada masa lampau. Dia harus berhasil melalui rintangan sebelum naik takhta, itu artinya tidak mudah bagi seseorang untuk memperoleh takhta dan menjadi pemimpin. Sebelum dinobatkan, seorang calon raja harus menempuh berbagai rintangan.
Itulah sederatan kesenian magis yang berasal dari Kabupaten Kerinci yang tentunya masih banyak yang belum terkuak. Sehingga tak heran kalau sekiranya sebagian orang menyebutnya kota ‘Sakti’ dengan sekepal tanah surga yang tercampak ke bumi. (
Tidak ada komentar:
Posting Komentar