Laman

Senin, 20 September 2010

KOALISI SETENGAH HATI GOLKAR MENGIRING HBA KE KURSI GUBERNUR JAMBI

JAMBI EKSPRES:

LANGKAH Golkar yang menginisiasi pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) partai koalisi terus menuai kontroversi. Golkar yang mulanya cukup getol dalam Pansus Century tiba-tiba berbalik arah. Sebelumnya, Partai Golkar bersama PPP dan PKS dalam voting terbuka dengan jelas menyuarakan opsi C. Hanya tiga fraksi, yaitu Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PAN, dan Fraksi PKB, koalisi yang memilih opsi A yang menganggap bailout (pengambilalihan) tidak melanggar hukum.

Harus diakui, selama setahun perjalanan pemerintahan SBY-Boediono mengalami fluktuasi koalisi yang sangat tajam. Kasus Pansus Century menjadi ujian yang menarik bagi daya ikat koalisi politik di negeri ini. Platform koalisi pendukung pemerintah ternyata dengan mudah memilih pudar di tengah fluktuasi gelombang politik skandal Century.

Kali ini, Golkar tiba-tiba putar haluan. Setgab Partai Koalisi jelas menjadi faktor politik yang akan sangat menentukan. Kendati ketua umum Partai Golkar menyampaikan bahwa pembentukan setgab tidak akan berpengaruh terhadap penuntasan skandal Century, publik cenderung skeptis terhadap implikasi politis setgab tersebut.

Arus Politik Oportunis
Hingga saat ini, oposisi tidak pernah menjadi prioritas pilihan karena masih menyimpan fobia politik. Pertama, arus budaya kepartaian dan budaya politik kita yang masih menempatkan pihak oposisi sebagai ancaman daripada sebagai partner. Kecenderungan sikap yang sama ditunjukkan kalangan oposisi, rezim penguasa akan menjadi objek kritik jika tidak mendapatkan “kue kekuasaan”.

Kedua, ketidaktegasan dalam mengawal jalur oposisi juga bersumber dari mentalitas elite penyelenggara kekuasaan negara yang seringkali mengabaikan mandat rakyat. Acapkali kinerja elite penyelenggara kekuasaan terus-menerus berputar dan terjebak dengan logika kekuasaan yang secara akumulatif bersifat elitis. Tingkat ketundukan kepada para “bos” masing-masing partai ditempatkan di atas segala-galanya. Hanya segelintir orang di partai yang berani mengambil langkah berisiko untuk melawan arus politik partainya.

Ketiga, ada kecenderungan kuat para elite “bermanuver” oposisi daripada menegaskan dirinya dalam posisi sebagai kekuatan oposisi. Di sini, “manuver” oposisi hanya menjadi “nilai jual”, baik bagi partai penguasa maupun bagi pemilih/konstituen. Ada kecenderungan kuat masing-masing parpol tidak mau terjebak pada pilihan oposisi permanen. Sebab, siapa pun yang selalu keras kepala di jalur oposisi akan terancam hidup di “lahan yang kering”.

Semua pelaku politik di negeri ini jelas sangat tahu bahwa sumber daya politik secara otomatis selalu menjadi pemilik parpol yang berkuasa. Karena itu, kecenderungan kuat dalam kontestasi politik dalam situasi apa pun dan di tengah isu apa pun, masing-masing partai politik akan cenderung berusaha mendapatkan akses kekuasaan. Jalur yang harus ditempuh tentu saja koalisi dengan partai pewaris kekuasaan.

Setengah Hati
Anehnya, kecenderungan koalisi yang dialami kekuatan pemenang selalu bersifat setengah hati. Indikatornya jelas. Ruang lingkup koalisi juga cenderung berada dalam arena yang abu-abu. Tidak heran jika setiap saat aktor politik pelaku koalisi akan mudah berubah warna menjadi pihak oposisi. Mengapa demikian?

Pertama, dalam kamus politik di negeri ini, belum jelas definisi format koalisi dan format oposisi. Kedua, persepsi dan posisi politik masing-masing partai yang tidak lagi berwatak ideologis cenderung pragmatis dan mudah berubah. Karena itu, tidak heran jika setahun lalu sebuah partai politik beramai-ramai merapat ke partai penguasa. Di tengah perjalanan pun dengan mudah mereka meninggalkan mitra koalisinya. Nasib politik kita memang sangat dipengaruhi kepintaran lidah politisi yang setiap saat bisa berputar arah. Karena itu, jenis koalisi apa pun akan selalu beraroma oposisi.

Barangkali kontrak koalisi hanya bisa dipercaya di atas kertas. Sebab, dalam realitas politik, koalisi politik sebenarnya belum sepenuhnya terlembagakan dengan baik. Koalisi justru dengan mudah berubah bentuk menjadi oposisi jika kepentingan politiknya tidak terpenuhi. Kendati berwajah oposisi, anehnya, perilaku politisi kita juga tidak pernah menunjukkan arah pelembagaan oposisi. Benih-benih oposisi setiap saat pun dengan mudah terkubur, jika transaksi politik sudah sesuai target.

Dua Sudut Pandang
Yang dilakukan Golkar bisa dibaca dengan dua sudut pandang. Pertama, langkah politik Golkar dapat saja dinilai “membusukkan” sistem demokrasi karena ikut “membonsai” kekuatan penyeimbang di DPR. Jelas, salah satu keunggulan sistem demokrasi adalah adanya mekanisme check and balance antara eksekutif dan legislatif. Pembentukan setgab itu jelas akan berpengaruh pada kekuatan oposisi di DPR.

Inisiasi Golkar dalam membentuk Setgab Partai Koalisi jelas telah ikut menggembosi kekuatan parpol pengusung angket Century. Padahal, penuntasan skandal Bank Century masih belum bisa diketahui.

Lebih dari itu, persoalan yang lebih serius justru masih tersimpan dengan rapi. Di tengah persoalan tersebut, sebagai partai papan atas kedua, Partai Golkar semestinya berani bersikap jantan. Partai Golkar seharusnya berani menyumbangkan energi politiknya dalam mengawal penuntasan skandal Century.

Kedua, yang dilakukan Golkar bisa jadi merupakan langkah politik untuk menjembatani mandeknya dialog eksekutif dengan legislatif pascavoting terbuka penentuan opsi oleh anggota Pansus Century. Sebagaimana kita tahu, proses hukum penuntasan skandal Bank Century ini masih akan menghadapi tiga persoalan rumit sekaligus: mandeknya dialog antara eksekutif (presiden) dan DPR, ketidakjelasan arah politik pihak koalisi dan oposisi, serta mekanisme percepatan penegakan hukum.

Bukan Golkar jika tidak memilih jalur aman. Kendati demikian, ketegasan sikap Politik Golkar juga harus diapresiasi. Sebab, di tengah ketidakjelasan parpol anggota koalisi yang lain, Golkar memilih tegas untuk menjaga rumah koalisinya. Sementara itu, parpol di luar koalisi seperti PDIP justru tampak dalam posisi yang tidak tegas dan cenderung terbelah, antara merapat ke kubu koalisi dan atau cenderung memilih jalur oposisi.

Pertanyaan yang penting di sini, benarkah inisiasi pembentukan setgab itu tidak akan berpengaruh terdapat proses hukum kasus Century? Dua sudut pandang tersebut bisa kita gunakan atas tindakan partai politik Golkar pada babak berikutnya. Mari kita simak saja manuver Golkar dalam koalisi setengah hati jilid II ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar